Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
Penguatan Peran Keluarga
Mengawali bulan Ramadan tahun ini, kita dikejutkan dengan berita kejahatan jalanan yang menewaskan seorang pelajar.
Oleh: Dr Zunly Nadia, Founder Madrasah Virtual Ulul Albab dan Anggota Komisi Pendidikan MUI DIY
TRIBUNJOGJA.COM - Mengawali bulan Ramadan tahun ini, kita dikejutkan dengan berita kejahatan jalanan yang menewaskan seorang pelajar.
Tentu saja ini sudah menjadi korban kesekian kali, termasuk klithih yang nirmotif, karena memang fenomena ini sudah banyak memakan korban dan selalu menghiasi berita media di Yogyakarta.
Kejahatan di jalanan sering melibatkan anak-anak usia muda dan remaja. Pelaku tidak hanya melakukan perundungan kepada korban, tetapi juga menyerang dengan senjata tajam.
Aksi anak-anak muda yang dijuluki sebagai kota pelajar ini tentu sangat meresahkan masyarakat. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa para pelaku klithih tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan bermain dengan teman sebaya dan media sosial, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Mereka berasal dari berbagai kalangan, tidak hanya kalangan kelas menengah kebawah tetapi juga banyak yang berasal dari kalangan kelas menengah atas.
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini seorang anak mulai merasakan adanya perubahan di dalam dirinya, baik secara fisik, psikis maupun mental.
Seorang yang hidup di masa remaja biasaya juga mencari identitas dan ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. Pada masa remaja ini, mereka lebih suka beraktifitas bersama teman-teman sebayanya dan mulai menjaga jarak dengan keluarganya.
Terlebih di era media sosial saat ini, anak-anak remaja semakin mudah dipengaruhi oleh konten-konten negatif yang dengan sangat mudah bisa diakses oleh mereka. Di sinilah seharusnya orang tua memberikan perhatian lebih dan menjadi tempat yang nyaman untuk mereka berkeluh kesah.
Keluarga merupakan unit terkecil di dalam masyarakat dan merupakan kelompok sosial pertama dimana anak-anak menjadi anggotanya. Karena itu, keluarga menjadi tempat pertama bagi anak-anak belajar bersosialisasi dalam kehidupan.
Di sinilah keluarga menjadi madrasah pertama yang berperan penting dalam pembentukan kepribadian dan membangun karakter seorang anak, tidak hanya melalui tutur kata tetapi juga melalui teladan yang secara langsung terlihat dalam kehidupan keluarga sehari hari. Pola komunikasi, gaya pengasuhan, kualitas hubungan di dalam keluarga semuanya sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yang akan dirasakan hingga dewasa.
Apa yang terjadi dengan anak remaja sebagai pelaku klithih ini sebenarnya juga tidak lepas dari pendidikan keluarga dan lingkungan yang didapatkan pada masa anak-anak.
Orang tua mungkin tidak lupa dengan tanggung jawab mereka dalam memberikan hak sandang dan pangan, tetapi seringkali orang tua lupa pentingnya pendidikan agama dan akhlak dalam membentuk karakter seorang anak, yang itu sama penting atau bahkan lebih besar manfaatnya daripada memberikan hak sandang dan pangan.
Pembentukan karakter seorang anak tidak bisa dilakukan secara instant ataupun hanya diserahkan kepada sekolah. Semahal dan sebaik apapun kurikulum yang ada di sekolah, jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter dari orang tua di rumah, maka karakter baik yang diharapkan tersebut, tidak akan tertanam dengan baik di dalam kehidupan seorang anak.
Pembentukan karakter memang harus dimulai dari dalam rumah dan diajarkan sejak dini melalui kebiasaan-kebiasaan baik yang diajarkan secara konsisten setiap hari.
Termasuk mengajarkan dan mengawasi penggunaan media sosial pada anak-anak dan mengajarkan untuk mengisi waktu luang dengan aktivitas yang positif.
Anak-anak usia remaja yang sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa ini, memiliki tenaga dan pikiran yang kuat yang seharusnya dimaksimalkan untuk kegiatan kegiatan positif. Sebagaimana istilah Klithih yang pada awalnya adalah kegiatan bersantai di luar rumah tanpa tujuan yang jelas dan untuk mengisi waktu luang. Karena tanpa ada tujuan yang jelas, kemudian kegiatan ini digunakan untuk kegiatan kriminal yang sarat dengan kekerasan.
Ketegasan pihak aparat kepolisian untuk menghukum para pelaku klithih ini tidak akan mengurangi kasus klithih yang semakin marak terjadi di kalangan anak remaja, jika tidak diimbangi dengan upaya pencegahan melalui pendidikan karakter di dalam keluarga. Pendidikan karakter di dalam keluarga tidak akan terbentuk jika hubungan antara suami dan istri, antara orang tua dan anak tidak maslahah.
Kemaslahatan tidak akan terjadi jika sebuah keluarga tidak dibangun dengan prinsip muadalah (keadilan), mubadalah (kesalingan), dan muwazanah (keseimbangan), dan prinsip-prinsip tersebut tidak akan terealisasi jika pasangan tidak siap secara mental terutama untuk membangun rumah tangga.
Ternyata mata rantai dari kasus klithih yang terjadi cukup panjang, dan memerlukan pencegahan dari berbagai macam lini. Tidak hanya diselesaikan melalui jalur hukum setelah kasus tersebut terjadi, melainkan perlu pencegahan melalui penguatan pendidikan karakter di tingkat keluarga.
Untuk mencapai hal itu maka kita tidak bisa hanya menyerahan persoalan klitih ini kepada pihak kepolisian, melainkan perlu sinergi antar komponen lain seperti Dinas Pendidikan, PKK, Ormas keagamaan, hinggga penguatan peran RT RW dalam upaya mengontrol mobilitas anak remaja di lingkungan sosialnya.
Tapi di atas semua itu, sekali lagi yang paling penting adalah memperkuat eksistensi keluarga dalam mendidik, membina, dan mengayomi anggotanya sehingga akan terwujud karakter dan kepribadian seorang anak yang baik dan berkualitas. (*)