Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY

Puasa, Ibadah dan Pertolongan Allah

Secara praktis, puasa adalah ibadah fisik. Selama berpuasa kita diperintahkan untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Ahmad Rafiq PhD, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DIY 

Oleh: Ahmad Rafiq PhD, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DIY

TRIBUNJOGJA.COM - Secara praktis, puasa adalah ibadah fisik. Selama berpuasa kita diperintahkan untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa.

Dalam tataran formal, yang membatalkan itu adalah makan dan minum atau semisal dengannya, serta bersetubuh dengan lawan jenis, selama rentang waktu siang hari; dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Di akhir dari puasa Ramadan diisi dengan ibadah harta, berupa zakat fitrah. Dinamai zakat fitrah, karena ibadah ini tidak semata berhubungan dengan harta yang dikeluarkan, tetapi juga bertujuan untuk pembersihan diri.

Fitrah, bagi sebagian ulama dipahami sebagai kembalinya diri kepada fitrahnya, hamba yang bersih dari kesalahan.

Pengertian yang sama juga digunakan untuk menyebut kemenangan yang harusnya didapat orang yang berpuasa di akhir Ramadan, Idul Fitri. Ungkapan bahasa Arab yang bermakna kembali kepada Fitrah, hamba yang menghamba hanya kepada Allah.

Ibadah pada hakekatnya adalah proses dan capaian material dan kesadaran manusia akan kedudukannya sebagai hamba di hadapan Allah.

Disebut proses, karena ibadah harus mengikut peraturan, berupa syarat, rukun, sunnat, dan berbagai peraturan yang menyertainya, seperti aturan-aturan dalam puasa, shalat, dan zakat, yang harus dipenuhi manusia dalam pelaksanaan ibadah.

Disebut capain material, karena terpenuhinya aturan-aturan tersebut menjadi ukuran telah terpenuhinya kewajiban manusia.

Pada saat yang bersamaan, disebut capain kesadaran, buah dari proses tersebut, tidak hanya terpenuhinya aturan dan kewajiban, tetapi tumbuhnya kesadaran diri hamba sebagai makhluk di hadapan Tuhan Sang Khalik.

Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisah, mulazimah, satu dengan yang lain, secara berurutan. Sekalipun kesadaran dapat dicapai dengan berpikir dan kontemplasi, misalnya, tetapi itu bukanlah kesadaran sebagai bagian dan buah ibadah.

Pentingnya hubungan antara capaian material dan kesadaran dalam ibadah itu tidak hanya memandu pelaksanaan ibadah, tetapi juga sikap dan perilaku manusia sesudah ibadah selesai dilaksanakan. Imam Nawawi al-Bantani menggambarkan hubungan itu dengan penafsiran Surah al-Fatihah (1) ayat 5, iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin, yang bermakna “Kepada Engkau (ya Allah) kami menyembah (menghamba) dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Bagian pertama berisi penegasan pernyataan hanya kepada Allah penghambaan kita tujukan. Penghambaan yang dimaksud adalah pelaksanaan ibadah dengan segala perturannya.

Bagian kedua, bagi Imam Nawawi, berisi pesan akhlak dan kesempurnaan ibadah, yakni kesadaran akan pertolongan Allah dalam memberikan kemampuan kita untuk beribadah. Walhasil, pada saat melakukan ibadah, tidak hanya kita berusaha maksimal untuk memenuhi segala ketentuannya, tetapi juga merasakan pertolongan Allah yang memberi kita kemampuan untuk melaksanakannya.

Pertolongan Allah inilah yang berimbas di dalam pelaksanaan dan pasca ibadah. Di dalam pelaksanaan ibadah ia menyadarkan betapa kita membutuhkan pertolongan Allah untuk dapat melaksanakannya. Kesadaran itu harusnya terbawa hingga keluar dari ibadah formal. Kesadaran akan pertolongan itu memandu manusia untuk menempatkan dirinya pada ketundukan kepada Allah semata, karena lemahnya diri.

Pertolongan Allah dalam ibadah itu juga menghilangkan keangkuhan dan kesombongan dari sesama makhluk karena merasa ibadahnya lebih baik dari orang lain. Ibadahnya tidak untuk mencari ketinggain derajat di hadapan manusia, ibadah untuk semata mengharap ketinggian derajat di sisi Allah.

Sementara itu, perbedaan di antara makhluk, apakah sesama manusia, atau dengan makhluk lainnya di alam semesta menjadi pengingat akan kehambaan seseorang yang sedang dan selesai beribadah, bukanlantas menjadi seperti tuhan atas makhluk yang lain.

Baiknya puasa kita secara fisik, tertibnya shalat kita secara lahir, besarnya hitungan zakat kita secara material, untuk menyebut sebagiannya, tidak lantas mengantar seorang hamba merasa lebih baik dan lebih tinggi dari hamba yang lain yang secara fisik, lahir, dan material ibadahnya nampak berbeda. Dus, ibadah yang disempurnakan pada aturan lahiriah dan capaian kesadaran kehambaan akan memandu manusia-manusia yang tunduk kepada Allah, santun kepada sesama makhluk, dan bijak menyikapi perbedaan dalam beribadah dan beragama. Perbedaan kemanusiaan dan kemakhlukan justru menjadi jalan untuk beribadah dan menghamba kepada Allah, bukan untuk aniaya dan zalim meninggikan diri dari makhluk yang lain. Wallahu a’lam. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved