Kisah Inspiratif
KISAH INSPIRATIF: Cerita Giri, Penyandang Disabilitas Netra Sarjana Ekonomi UGM yang Berprestasi
Giri, seorang disabilitas netra mampu membuktikan keterbatasan fisik tak menjadi hambatan untuk menorehkan prestasi. Ia pun kini resmi menjadi Sarjana
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Perjuangan Giri Trisno Putra Sambada (25) menempuh studi sarjana di Universitas Gadjah Mada ( UGM ) akhirnya selesai.
Giri, seorang disabilitas netra mampu membuktikan keterbatasan fisik tak menjadi hambatan untuk menorehkan prestasi. Ia pun kini resmi menjadi Sarjana Ekonomi (SE).
Laki-laki asal Yogyakarta itu telah mengikuti wisuda periode kedua Tahun Akademik 2021/2022 yang diselenggarakan UGM kemarin, Rabu (23/2/2022).
Dia berhasil mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IP) 3,43 atau sangat memuaskan dari prodi Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB).
Baca juga: DNA Bima Perkasa Fokus Persiapkan Diri Jelang Lanjutan IBL 2022 3 Maret 2022 Mendatang
“Saya berusaha untuk menunjukkan pada semua orang, meski Penyandang Disabilitas tapi bisa berprestasi yaitu dengan kembali kuliah,” jelasnya, Kamis (24/2/2022).
Seperti dunia runtuh, begitu Giri mengibaratkan ketika pandangannya mendadak hilang di tahun 2015. Padahal, pada saat itu, dia sudah duduk di bangku kuliah.
Awalnya, Giri merupakan remaja normal, seperti anak-anak pada umumnya. Namun, ia justru dinyatakan tidak bisa melihat sejak 7 tahun lalu.
“Saat masuk UGM masih bisa melihat hingga semester dua Allah mengambil penglihatan saya secara total. Seolah runtuh semua cita-cita, hilang semua harapan, seperti tak mungkin lagi menjadi apa-apa,” paparnya.
Giri menceritakan fungsi penglihatannya menurun saat ia mengikuti perkuliahan di kelas. Tanpa merasa sakit secara tiba-tiba ia mulai tidak bisa melihat lagi.
Semua terlihat samar dan semua wajah teman dan yang dilihatnya hanya berwarna putih.
Kondisi seperti itu yang membuatnya harus menjalani perawatan di RSUP Dr Sardjito sekitar 4 bulan dengan diagnosa ada peradangan pada saraf mata dengan penyebab yang masih belum bisa diketahui.
“Waktu itu kan rawat inap pertama sekitar 10 hari lalu pulang ke rumah, itu masih masa masa ujian akhir semester (UAS). Saya nekat ngampus untuk UAS, tapi sampai kelas nangis karena tidak bisa membaca dan nulis akhirnya pulang dijemput Bapak,” ungkapnya.
Kebingungan pun melanda Giri. Bagaimana ia menjalani perkuliahan dengan kondisi tidak bisa melihat?
Bagaimana jika cita-citanya untuk menjadi orang sukses yang sejak dulu diidam-idamkan kini tak bisa lagi tercapai lantaran ia tak bisa melihat?
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di hatinya. Untuk menenangkan diri, dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah selama lima semester.
Selama masa cuti tersebut, ia menjalani terapi di berbagai tempat, tapi hasilnya tetap nihil. Pengelihatannya semakin memburuk hingga semua terasa hitam dan gelap.
Akan tetapi, ia tetap enggan menyerah dengan keterbatasan. Ia mulai berpikir, keterbatasan tidak boleh menjadi batu sandungan untuknya melangkah lebih jauh.
Memilih Bangkit
Memang tidak mudah baginya menerima kenyataan. Bahkan, apabila kekecewaan dituliskan dalam kata-kata pun sepertinya tidak cukup mampu menggambarkan kesedihan hati Giri.
Perlahan tapi pasti, Giri bangkit. Tekadnya hanya satu, ingin menyelesaikan kuliah di UGM , meski harus terlambat lima semester dari teman seangkatannya.
Usahanya tidak sia-sia. Dia menjadi wakil wisudawan untuk memberikan kata sambutan di hadapan seluruh wisudawan dan pimpinan universitas.
“Ini juga karena keterbukaan UGM melayani pendidikan yang inklusif. Dari situ, saya bisa berada di wisuda ini bersama teman-teman,” papar Giri.
Giri merupakan putra pertama. Ia dan keluarga tinggal di daerah Mantrijeron, Yogyakarta. Kedua orang tuanya sehari-hari berjualan soto di daerah Tamanan, Bantul.
Sebelumnya sang ayah sempat memiliki usaha event organizer, tapi karena kondisi kesehatan mengidap diabetes dan jantung koroner memaksanya berhenti menjalankan usaha tersebut dan memilih membantu isterinya berjualan soto.
Sementara sang adik, saat ini tengah menempuh pendidikan sarjana masuk semester empat di salah satu perguruan tinggi swasta Yogyakarta .
Kembali Kuliah
Lima semester berlalu, Giri pun mulai masuk kuliah kembali di tahun 2018. Kecemasan yang menggelayut di benaknya tak semata-mata hilang.
Dia tetap bertanya, apakah dirinya bisa mengikuti perkuliahan? Apalagi, ia sudah tertinggal lima semester dari teman-temannya. Pertama kali masuk kuliah, otomatis Giri harus berada di kelas yang sama dengan juniornya.
Ia juga memikirkan akses perkuliahan setelah dirinya tidak bisa lagi melihat. Salah satu solusi yang ia lakukan adalah mengomunikasikan tantangan yang dihadapi dan kebutuhan selama proses belajar mengajar.
Dengan komunikasi yang dibangun dengan teman, dosen, dan fakultas, serta universitas, persoalan yang dihadapinya satu persatu terurai.
"Saat masuk itu kepedulian terhadap disabilitas belum seperti saat ini, tetapi dengan usaha dan komunikasi yang baik bisa terbentuk bagi disabilitas," katanya.
Giri mengungkapkan sebelum mulai mengikuti perkuliahan ia dipanggil dalam sebuah pertemuan yang dihadiri Kaprodi, Kadep, dan Wadek bidang Akademik.
"Waktu itu pihak kampus bertanya kebutuhannya apa dan solusi seperti apa yang tepat menurut Giri. Ini bagus karena disabilitas dilibatkan dan diberdayakan untuk mencari solusi," ucapnya.
Para dosen pun diarahkan dalam membuat materi pembelajaran bisa diakses oleh semua mahasiswa, termasuk Penyandang Disabilitas .
Lalu ada fasilitasi asisten dosen untuk membantu Giri dalam menjalankan kegiatan pembelajaran. Selanjutnya memberikan tutorial untuk beberapa mata kuliah kuantatif.
Pandemi Covid-19 menutut perkuliahan dilakukan secara daring menjadi tantangan baru baginya. Sebab, masih ada beberapa dosen yang menggunakan platform yang kurang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas .
"Saat kuliah daring cukup kesulitan karena banyak yang harus dilakukan secara mandiri tapi lagi-lagi dengan komunikasi semua bisa berjalan baik. Untuk mata kuliah yang kuantitatif ada fasilitasi asisten dosen yang datang ke rumah," sebutnya.
Menurutnya UGM merupakan kampus yang ramah bagi Penyandang Disabilitas.
Maka, ia berharap kedepan UGM bisa terus mengembangkan pendidikan dan lingkungan yang semakin inklusif bagi mahasiswa Penyandang Disabilitas .
Berprestasi
Karakternya yang tidak pantang menyerah itu tidak ia dapatkan baru-baru saja. Sejak kecil, Giri memang memiliki banyak Prestasi . Berbagai Prestasi tingkat daerah hingga nasional pernah diraihnya sejak bangku SD hingga SMA.
Beberapa di antaranya juara lomba dongeng tingkat DIY, OSN IPS SMP Tingkat Kota Yogyakarta, OSN Ekonomi SMA tingkat Kota Yogyakarta, dan juara nasional Duta Budaya dan Tradisi Indonesia. Lalu, masuk ke UGM pun melalui jalur prestasi yakni SNMPTN Undangan.
Pasca dinyatakan tak lagi bisa melihat, Giri justru mendapat beasiswa pendidikan sarjana dari Tanoto Foundation.
Saat ini, ia kembali bisa memperoleh beasiswa dari lembaga tersebut untuk melanjutkan pendidikan jenjang S2 di FEB UGM. Giri telah dinyatakan diterima kuliah program Magister Sains FEB UGM.
Prestasi lain yang membanggakan, Giri terpilih menerima penghargaan dari Presiden yang diserahkan oleh staf khusus presiden Angkie Yudistia pada Desember 2021 lalu.
Lalu, hasil penelitiannya untuk tugas akhir atau skripsi berjudul Manajemen di Era Digitalisasi juga terpilih masuk menjadi book chapter yang akan diterbitkan Departemen Manajemen FEB UGM .
Ia pun banyak diundang menjadi pembicara di berbagai kesempatan terkait menumbuhkan lingkungan inklusif bagi difabel.
"Kondisi disabilitas merupakan sebuah keistimewaan yang menjadikannya sebagai ciri khas. Jadikanlah hal itu sebagai penyemangat untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin sehingga bias menjadi juara di masyarakat," pesannya.
Usai lulus menempuh pendidikan S2, Giri berencana turut ambil bagian dalam memajukan pendidikan di tanah air dengan menjadi dosen.
Ia ingin berperan dalam mewujudkan Indonesia yang maju, terbuka, bertoleransi serta memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas melalui pendidikan sebagai pintu utamanya.
Baca juga: Dinas Perdagangan Gunungkidul Klaim Belum Temukan Praktek Tying Minyak Goreng
Dukungan Orangtua
Giri bukan berasal dari keluarga berada. Sang ibu, Ngersi tidak lulus SD. Sementara, ayahnya, Sutrisno hanya menamatkan pendidikan setara STM.
Ngersi mengatakan puteranya merupakan sosok yang tekun, ulet dan memiliki semangat juang yang tinggi. Meski mengalami kehilangan pengelihatan secara tiba-tiba Giri bangkit dan berusaha untuk menggapai impiannya.
“Dengan kondisi seperti itu biasanya anak akan merasa putus asa, tetapi Alhamdulillah Giri tidak patah semangat,” ujarnya.
Melihat pencapaian yang diraih Giri saat ini Ngersi tak henti-henti bersyukur. Ia sangat bangga pada putranya itu.
“Cukup bangga karena saya yang SD saja tidak lulus bisa memiliki anak yang lulus sarjana dengan kondisi ada keterbatasan fisik. Saya berharap apa yang diinginkan Giri bisa tercapai dan suatu saat ada keajaiban untuknya bisa melihat lagi,” katanya.
Perasaan yang sama turut dirasakan oleh Sutrisno. Ia bahagia sekaligus bangga putranya dengan segala keterbatasan bisa terus berpretasi dan meraih gelar sarjana bahkan kini melanjutkan S2.
Meski Sutrisno hanya mampu menempuh pendidikan hingga tingkat STM, namun ia berharap anak-anaknya bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya.
“Wisuda Giri ini menjadi kado ulang tahun saya yang sangat membanggakan. Harapannya apa yang dicita-citakan menjadi dosen bisa tercapai seizin Allah,” terangnya. (Ard)