Pemulihan Kesehatan dan Ekonomi Sebagai Resolusi Nasional 2022 (Dari Yogya Menabur Optimisme)
Situasi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam satu dua bulan terakhir ini nampak berbeda, jika dibandingkan beberapa bulan lalu.
Oleh : Dr Andry Wibowo SIK MH MSi
TRIBUNJOGJA.COM - Situasi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam satu dua bulan terakhir ini nampak berbeda, jika dibandingkan beberapa bulan lalu, saat wilayah ini menghadapi lonjakan kenaikan kasus Covid-19.
Saat itu, keputusan pemerintah pusat yang menetapkan status level 4 untuk Yogyakarta, sangat berdampak pada dua sektor utama ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan pemerintah dan masyarakat Yogya, pariwisata dan pendidikan.
Pemberlakuan pembatasan mobilitas masyarakat merubah pola beraktivitas dan melemahkan pergerakan roda perkonomian.
Sekolah dan perkuliahan dilakukan secara online, destinasi dan wisata ditutup dan dibatasi, mengakibatkan aktivitas ekonomi yang menunjang wisata dan pendidikan lumpuh. Hotel, kampus, indekost, warung makan, pengerajin, industri makanan melorot pendapatannya.
Dengan vaksinasi gencar dan massif yang dilakukan pemerintah, Yogya kembali. Perlahan ekonomi bergeliat dengan kehadiran secara bertahap wisatawan dan mahasiswa.
Senyum ramah masyarakat Yogya kembali hadir. Ini menunjukkan masyarakat menyambut penuh optimisme tantangan hidup ke depan. Meskipun pada sisi lain perkembangan mutasi virus varian baru masih menjadi ancaman yang membutuhkan kewaspadaan.
Optimisme harus selalu ditanam, dirawat dan dijaga menghadapi masa krusial kehidupan di era pandemi. Optimisme yang boleh jadi disebabkan oleh dua hal :
Pertama, dalam sejarah kehidupannya manusia membuktikan dengan segala upayanya selalu berhasil menemukan jalan keluar (solusi) dari krisis yang dihadapi.
Berbagai kisah ketangguhan manusia dunia beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrem dapat dilihat dari cacatan sejarah serbuan wabah penyakit di abad XIX dan XX bahkan jauh sebelumnya seperti cacar, pes, tipus yang menjadi mimpi buruk dunia pada masanya. \
Pandemi flu Spanyol tahun 1918 yang menyeret dunia pada krisis ekonomi berujung dengan pecahnya perang dunia.
Bencana alam seperti gempa dan tsunami yang kerap melanda Jepang, sehingga masyarakatnya mampu beradaptasi, dan melahirkan perkembangan teknik dan konstruksi.
Meletusnya gunung Tambora, Krakatau dan Merapi yang melahirkan kemelaratan dan mendorong lahirnya pemberontakan petani di Jawa.
Kedua, kombinasi antara kecerdasan manusia dengan teknologi komputer cerdas (artifisial inteligence) yang tersedia saat ini memungkinkan identifikasi dengan segera akar masalah dan menemukan cara cepat mengobatinya.
Dengan segenap keampuhannya, disrupsi teknologi yang mempermudah kerja dan semakin banyak menggantikan peran manusia, bisa jadi akan menambah panjang deretan pengangguran di masa depan.
Sebagai manusia yang hidup dalam kompleksitas symtom kehidupan, kita dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang menjadi umpan balik (feed back) bagi setiap individu maupun sistem kehidupan yang lebih besar.
Perbaikan sistem kehidupan berawal dari suatu masalah dan tantangan cara untuk mengatasinya. Masalah merangsang manusia untuk menyadari posisinya yang rapuh, dengan selalu bersiap diri untuk meresponsnya, seperti pepatah “ sedia payung sebelum hujan."
Dengan disiplin berpikir seperti itu, Indonesia sebagai suatu negara dengan populasi nomor empat terbesar di dunia, mensyaratkan individu dan seluruh komponen bangsa untuk berpikir dan bertindak prediktif. Melakukan langkah pro-aktif dan integratif untuk mempersiapkan segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan.
Berpikir reaktif dengan langkah pragmatis adalah disiplin berpikir dan cara bertindak yang usang. Apalagi pada era masyarakat 5.0 dimana integrasi kecerdasan manusia dan kecanggihan teknologi informasi (artifisial inteligence) memungkinkan manusia memetakan symtom persoalan kehidupan secara lebih baik.