Khidmah Orkestratif Gus Yahya Staquf
Satu Abad Khidmah Nadhaltul Ulama sebagai jam’iyyah (organisasi), ditandai dengan penyelenggaraan Muktamar di Lampung.
Oleh: Purwo Santoso, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta
TRIBUNJOGJA.COM - Satu Abad Khidmah Nadhaltul Ulama sebagai jam’iyyah (organisasi), ditandai dengan penyelenggaraan Muktamar di Lampung, ditandai pula dengan terpilihnya Gus Yahya (KH Yahya CholilStaquf) sebagai Ketua Umum (Ketum) Tanfidziah PBNU.
Gus Yahya, sebagaimana kita kenal, adalah tokoh yang lahir dan dibesarkan dari keluarga kiai-kiai besar, yang secara intensif dimentori Alm. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), mantan ketua umum PBNU yang begitu legendaris.
Dari sisi ini, terpilihnya beliau sebagai Ketua PBNU, sama sekali tidaklah di luar dugaan. Yang mungkin di luar dugaan adalah cara Gus Yahya memimpin segmen terbesar Muslim terbesar di negeri ini: Nahdlatul Ulama.
Istilah yang belakangan ini populer dipakai orkestrasi lebih bisa menggambarkan gaya kepemimpinan beliau, dari pada istilah: komando. Tulisan pendek ini dimaksudkan untuk menawarkan elaborasi.
Imaji (baca: visi) beliau tentang NU ke depan, disajikan dalam buku berjudul PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama.
Bagi Gus Yahya dan para nahdliyin pada umumnya, NU sejatinya adalah jamaah, dan organisasi (jam’iyyah) sejatinya hanyalah medium untuk mengelola kekuatan jamaah. Keulamaan adalah urusan pewarisan ilmu, pewarisan misi kenabian.
Yang membuat warga NU semakin banyak dan semakin berperan sebetulnya bukanlah dikarenakan kehebatan para pengurus, melainkan orkestrasi para Kiai sebagai simpul-simpul khidmah an-nahdliyah.
Melalui sinkronisasi dari beragam cara dan jalur Khidmah itulah NU bertahan dan berkembang. Justru dengan praktik yang menyejarah itulah eksis dan berperan, dan perjumpaan dengan istilah ‘orkertrasi’ bukan berarti NU baru belajar tentang orkestrasi. Justru sentralitas ke-jamaahan-an bukan ke-organisasian itulah yang menjadikan NU hadir dan berkinerja.
Dalam kesadaran dan keniscayaan kepemimpinan orkertratif itulah, Gus Yahya secara sengaja dan konsisten menjalin silaturahmi, dan secara fisik hadir ke berbagai pelosok Tanah Air: berdialog dengan hampir semua entitas/Pengurus Cabang NU.
Silaturahmi ini, bisa saja dimaknai sebagai safari-kampanye. Sadar akan pembacaan semacam ini, beliau ikrarkan apa yang dilakukan itu sebagai ‘lamaran kerja’.
Terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum, adalah bertemunya pemberi kerja dengan pelamar kerja. Khidmah ke-NU-an beliau bahasakan jual-beli pekerjaan.
Jelasnya, bagi nahdliyin, terpilihnya beliau sebagai ketua umum ini adalah ibarat kesepakatan lagu untuk dinyanyikan bersama, kesepakatan dirijen yang mengorkestrasi, untuk tentu saja, diiringi oleh pemain dengan instrumen musikal yang berbeda-beda yang dimiliki jamaah.
Berbeda dengan political marketing tepatnya politik pencitraan, Gus Yahya justru memparodikan perannya sebagai pelamar kerja, mengajak jamaah untuk mau merepotkan diri-sendiri: berkhidmah.
Ada cukup kuat optimisme bahwa di dalam memasuki perkhidmatan di abad ke-IInahdliyin ini, kehadiran NU tidak lagi disikapi sebagai ancaman yang harus ditaklukkan sebagaimana, terjadi di era Orde Baru.
Kiprahnya tidak lagi diejek dengan predikat ‘ndeso’, ‘kaum sarungan’, ‘tradisional’ dan sebagainya.
Sebaliknya, strategi pemerintah Orde Baru memberlakukan apa yang saat itu disebut sebagai ‘asas tunggal’ tidak disikapi para kiai sebagai kiat penggembosan, melainkan justru diposisikan sebagai kekuatan fondasi bernegara.
Justru NU yang saat ini lebih lantang meneriakkan NKRI harga mati. NU, tidak hanya menjadi elemen besar, tetapi juga menjadi elemen strategis menyatu dan pembangun negeri ini.
Dalam khidmah di abad ini, NU hidup dan menghidupi Indonesia sebagai negara bangsa (nationstate). Ke depan, denyut NU tidak berhenti pada level budaya, yang pada akhirnya dikapitasilasi Gus Dur dengan jargon: NU adalah sub-kultur.
NU dalam orkestrasi yang diangankan, akan melebarkan dan memperdalam khidmah, sampai pada level peradaban. Hal ini sudah dirintis Gus Dur dan diteruskan Gus Yahya, dan diartikulasikan dalam wacana ‘Humanitarian Islam’.
Islam tidak lagi dihadirkan sebagai identitas, melainkan sebagai komitmen nilai, nilai kemanusiaan untuk hidup damai di muka bumi ini.
Dalam pidato sambutannya di upacara penutupan muktamar, dengan percaya diri Gus Yahya meyakinkan kita: tidak ada negara yang lebih pas untuk menawarkan solusi perdamaian dunia, selain Indonesia. Mari kita wujudkan.
Selamat berkhidmah Gus.
Nderek ngalap di dalam bahtera besar: Nahdlatul Ulama. (*)