Feature
Kami Tak Menyangka Wayang Potehi Diundang Pentas di Lingkungan Jeron Beteng Keraton Yogyakarta
Suasana Pendopo Ndalem Benawan berubah bernuansa China. Aroma wewangian dupa dan warna kemerahan menjadi penanda ada acara bernuansa budaya Tionghoa.
Suasana Pendopo Ndalem Benawan berubah bernuansa China. Aroma wewangian dupa dan warna kemerahan menjadi penanda ada acara bernuansa budaya Tionghoa.
TONI Harsono, pimpinan Wayang Potehi Klenteng Tri Darma Hong San Kiong, Gudo Jombang, Jawa Timur mengaku, tak pernah menyangka bisa tampil di lingkungan Keraton Yogyakarta. Pasalnya, ia menyadari kelompok seni budayanya ini secara umum masih ‘dianggap’ budaya asing.
“Sekadar diketahui, Potehi ini sudah ada di Indonesia 1600 tahun lebih. Para pemainnya pun banyak bukan dari kalangan Tionghoa, bahkan dalangnya pun orang Jawa. Jadi, saya ndak menyangka sama sekali Potehi bisa dipertunjukan di wilayah Keraton. Harapan saya, mudah-mudahan pemerintah bisa lebih mengakomodasikan seni budaya Potehi ini. Saya pikir Potehi sudah jadi aset Nusantara,” ujarnya kepada Tribun Jogja, seusai pentas di Pendopo Ndalem Benawan Yogyakarta.
Ya, benar saja. Kelompok Wayang Potehi dari Klenteng Tri Darma Hong San Kiong, Gudo Jombang, Jawa Timur tampil pada pagelaran seni budaya di Ndalem Benawan Jalan Rotowijayan, Kadipaten, Kraton, Yogyakarta, Rabu (10/11/2021) lalu itu. Pagelaran seni budaya yang dipersembahkan Keluarga Besar KGPH Benowo ini juga menampilkan tari Beksan Menak Putri Dewi Rengganis Widyaningsih karya Sri Sultan HB IX.
“Tari Beksan Menak Putri Dewi Rengganis ini menyampaikan cerita pertarungan dua putri Jawa dan Tionghoa. Inilah wujud kolaborasi dua seni budaya, yang menjadi kekayaan budaya Nusantara. Ini pertama kali pertunjukan Wayang Potehi diadakan di njeron beteng (kawasan keraton), sekaligus perkampungan Jawa,” tutur RM Kukuh Hertriasning, Cucu KGPH Benowo, di sela pertunjukan, selaku penyelenggara.
Dijelaskan Gusti Aning, sapaan akrab Hertriasning, pertunjukan wayang Potehi ini sengaja dihadirkan dari Jombang. “Kenapa kami menghadirkan pertunjukan Potehi dari Jombang ini, karena di kota inilah Potehi jadi rujukan pelaku seni budaya di Nusantara dan Asia untuk belajar Potehi. Di Jombang ini pula ditemukan naskah-naskah budaya Tionghoa dengan huruf Jawa. Jadi, ini istimewa bagi kami menghadirkan pertunjukan seni sebagai akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa ini,” tandas pemerhati dan pegiat seni budaya serta tradisi Jawa di Gunungkidul.
Tak ada tujuan khusus yang dilakukan Gusti Aning menghelat pagelaran budaya ini. Ia hanya ingin menyampaikan pesan, bahwa wayang Potehi merupakan kekayaan seni budaya Nusantara.
Selama ini, katanya, pertunjukan boneka khas Negeri Tirai Bambu itu lebih banyak digelar di lingkungan masyarakat dan acara tradisi China. Misalnya, pada momentum Tahun Baru Imlek dan hanya di lingkungan mereka, semisal klenteng dan sebagainya.
“Mudah-mudahan ini membuka wacana, bahwa pagelaran ini juga bisa digelar di perkampungan Jawa, bahkan ini pertama kali di lingkungan njeron beteng keraton,” urainya lagi.
Gusti Aning menambahkan, pagelaran seni budaya ini juga mengundang Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY dan lima Kabupaten/Kota di DIY serta perwakilan masyarakat keturunan Tionghoa Yogyakarta. “Kami mengajak semua elemen, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk acara ini,” sambung Cucu Buyut Sri Sultan HB VIII dan Cucu Cicit Sri Sultan HB VII ini.
Selain wayang Potehi dan Tari Beksan Menak Putri Dewi Rengganis, ikut memeriahkan kegembiraan pagelaran ini, penari senior Nusantara Didik Nini Thowok. Penampilan Didik Nini Thowok memperkuat akulturasi budaya ini. (Agus Wahyu)