Tanggapan Mahasiswa Penyintas Kekerasan Seksual di Kampus Yogyakarta Soal Permendikbud 30/2021

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Global Look Press
Ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM - Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sedang ramai dibicarakan.

Termasuk oleh A, alumni perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa waktu belakangan ini, dia banyak membaca pemberitaan tentang regulasi tersebut di media.

Dari sudut pandangnya, A merasa regulasi itu mampu melindungi korban pelecehan seksual di kampus, tempat dimana intelektual berkumpul.

“Ini artinya negara kan mulai hadir ya di ranah pencegahan seperti ini. Selama ini, mungkin sulit bagi korban untuk mencari keadilan, padahal dia sudah terluka karena dilecehkan. Minimal ada tempat mengadu dulu,” ungkapnya kepada Tribun Jogja, Sabtu (13/11/2021).

A, yang enggan disebut namanya, memang bukan korban langsung kejahatan seksual, tapi dia pernah mendapati temannya mengalami pelecehan di kampus.

Empat tahun lalu, A bersama sang sahabat harus menghadapi kenyataan bahwa dosen yang mereka hormati justru menjadi salah satu pelaku pelecehan.

Sampai saat ini, A masih bergidik ketika ingat cerita tersebut. Begitu pun dengan temannya.

“Aku sama B, sebut saja dia B gitu ya, masih berhubungan sampai sekarang. Kami pas lihat berita ini, jujur kami senang. Dulu, si B sampai sedih setelah dilecehkan dosennya,” tuturnya.

Saat itu, B sedang menjalani bimbingan skripsi, A menunggu di luar karena mereka berjanji akan pergi setelah B bimbingan.

Baca juga: Mayoritas Jalani Isolasi Mandiri, Selter Asrama Haji di Sleman Hanya Terisi Satu Pasien Covid-19

Namun, B justru keluar sambil sesenggukan dan A cukup bingung menghadapinya. Setelah menjauh dari kampus, B pun menceritakan apa yang ia alami di ruangan dosen.

“Si B itu ditanya, mau tidak jadi istri kedua dosen pembimbing itu. Kan kaget ya si B. Dosennya bilang, kalau B itu cantik dan cocok jadi istri kedua,” tuturnya.

A sangat menyayangkan hal itu terjadi ke sahabatnya.

Dia tidak habis pikir, bisa-bisanya kalimat tersebut keluar dari mulut seorang dosen dengan titel doktor.

“Padahal, di ruang dosen itu juga penuh orang lho. Kok ya gak malu? Sekarang si B sudah tidak terlalu trauma, tapi jadi kepikiran, gimana kalau itu terjadi kepada junior di kampus?,” ungkapnya.

Pelecehan Verbal

E adalah seorang alumni pascasarjana salah satu kampus di Yogyakarta.

Ia cukup terbuka untuk menceritakan kepada Tribun Jogja terkait pelecehan seksual yang pernah terjadi padanya.

Bedanya, E bisa membela diri sendiri saat pelecehan terjadi. Dia tidak takut dengan pelaku meski pelaku merupakan dosen yang lebih tua.

“Waktu itu, si dosen mempermalukanku di depan kelas. Laki-laki feminin seperti aku, kata dia, tidak bisa pergi ke Amerika Serikat dan tidak boleh dekat dengan anak-anak,” ucapnya mengingat-ingat.

Pernyataan tersebut dilontarkan dosen di depan kelas berisi lebih dari 20-an orang.

Reaksinya audiens macam-macam. Ada yang tertawa, ada yang tidak suka, ada juga yang merasa bingung.

E tidak menampik dirinya memang lelaki feminin. Namun, dia juga tidak suka jika ditunjuk secara blak-blakan di depan kelas.

Baginya, apa yang dilakukan dosen itu sudah termasuk kekerasan seksual karena sudah melecehkan tampilan fisik.

“Tapi aku berani melawan, meski aku kaget, aku tanya, memang kenapa aku tidak bisa ke Amerika? Wong aku juga sering ke luar negeri, pendidikanku juga enggak kalah dari yang lain,” terangnya.

Setelah E berani menjawab, sang dosen pun tidak melanjutkan pembicaraan dan membuang muka.

“Aku enggak trauma, tapi bagaimana kalau terjadi kepada orang lain? Misal laki-laki feminin ataupun perempuan maskulin? Mereka rentan banget kena pelecehan, kena perundungan,” ungkap E.

Maka, adanya permendikbud tersebut bisa menciptakan ruang aman kepada siapapun, tidak terkecuali.

Baca juga: Bupati Bantul Gunakan Anggaran BTT untuk Perbaikan Infrastruktur yang Rusak Akibat Hujan Deras

E selalu berpikir, selama ini, banyak orang beranggapan pelecehan seksual hanya terjadi dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya.

Padahal, kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja, kepada siapa saja dan dimana saja, tanpa mengenal gender, umur, profesi dan orientasi seksual.

“Kalau ada regulasi gini, jadi jelas. Kampus harus buat satgas dan korban bisa mengadu. Aku dulu mau ngadu dilecehkan begitu enggak tahu kemana karena memang tidak ada tempat mengadu. Kalau ngadu ke aparat, paling cuma di ‘halah gitu doang’,” tandasnya.

Relasi Kuasa

Seseorang berinisial S menceritakan kejadian sahabatnya yang pernah hampir diperkosa oleh mahasiswa senior.

Tiga tahun lalu, S mendapati temannya itu menangis tidak karuan di telepon lantaran hampir menjadi korban pemerkosaan.

“Pelakunya ya laki-laki, anak kampus di Yogyakarta, anggota organisasi kampus dengan kedudukan yang cukup tinggi. Temanku ini adik kelasnya,” buka S.

Cerita dimulai ketika R, teman sekaligus adik kelas K, pelaku, akan mengerjakan tugas. K meminta R untuk mengerjakan tugasnya di kamar kos saja.

R awalnya tidak mau karena hanya berdua. Namun, K justru memaksa. Jika R tidak menuruti keinginannya, maka R tidak akan mendapatkan teman di kampus.

“Kelihatan banget, relasi kuasa di sini. R akhirnya mau kan, dan di kamar itu justru dia mau diperkosa, dipepet sampai tembok. Untung si R langsung nendang si K dan kabur,” katanya.

S baru mendapat cerita tersebut setelah R menelpon dirinya.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan kemana harus mengadu.

“R ini akhirnya jadi pendiam. Teman-teman yang lainnya justru malah melabeli dia kayak ‘kenapa kok kamu mau diajak ke kos?’ atau ‘harusnya nolak’. Ekosistemnya kampus belum betul-betul mendukung korban,” ungkapnya.

Hingga kini, R masih harus terus mengikuti sesi konseling dengan psikolog.

“Bayangin, sudah tiga tahun lebih. Traumanya masih nyisa. Permendikbud ini semoga jadi titik terang kita semua kalau pelecehan seksual itu ada, di kampus, di mana saja, terjadi pada siapa saja,” tandasnya. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved