Headline
Aliran Code Masih Kondusif Warga Diminta Tidak Lengah
“Sepanjang bantaran sungai itu rawan semua. Karakteristik tiga sungai itu berbeda-beda. Makanya, warga yang tinggal di sekitar bantaran harus waspada"
YOGYA, TRIBUN - Aktivitas Gunung Merapi yang cenderung kondusif diyakini tidak akan memberi dampak luapan besar di aliran kali Code yang melintasi Kota Yogyakarta. Hujan deras yang melanda beberapa hari terakhir pun belum mengirimkan sinyal bahaya bagi warga di bantaran.
Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Yogyakarta, Budi Purwono mengatakan, sejak erupsi besar pada 2010 lalu, nyaris tidak ada lagi luapan besar yang melanda aliran Kali Code akibat material lahar dingin yang turun dari Kali Boyong.
"Kejadian terakhir itu waktu Merapi erupsi 2010. Sampai hari ini, aktivitas Merapi relatif kondusif. Artinya, kejadian paling besar pas 2010. Setelah itu, relatif landai dan tertangani," katanya, Senin (13/9/2021).
Namun, ia menyampaikan, BPBD Kota Yogyakarta tak lantas tinggal diam menyikapi situasi ini. Sejumlah sarana terkait mitigasi, seperti Early Warning System (EWS) terus dipantau kesiapannya. Sehingga, jika sewaktu-waktu terjadi luapan di hulu, warga di hilir bisa langsung terkondisi.
"Kalaupun nanti ada, tak akan separah 2010. Alhamdulillah sudah lebih dari 10 tahun ini landai. Tapi, potensi itu masih ada, jadi harus diwaspadai, ya, meski dari analisis terakhir (luapan) ke Code belum ada warning," cetus Budi.
EWS sendiri, sudah terpasang di 16 titik di seluruh penjuru kota pelajar yang meliputi kawasan pinggiran Kali Code (7 EWS), Kali Winongo (4), serta Kali Gajahwong (5). "Kemarin sudah kita benahi, sehingga tidak ada masalah soal peringatan dini itu. Sekarang juga masih kita cek terus kok, kita pastikan itu berfungsi dengan baik," jelasnya.
Posko 1 yang berlokasi di Ngentak, Sinduharjo, Sleman, pun dijadikan ujung tombak untuk memantau debit air dari atas. Dengan begitu, BPBD bisa mengirimkan laporan rutin pada warga yang tinggal, maupun beraktivitas di dekat aliran kali di wilayah Kota Yogyakarta.
Budi menyebut, ketika debit air mulai naik, posko-posko yang ada di kota pun langsung mempersiapkan kesiapsiagaan dini di kawasan bantaran sungai, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat terjangan lahar dingin.
Jika pantauan dari posko menunjukkan ketinggian air sudah mencapai 70 sentimeter, maka lebih kurang 30 menit lahar dingin akan sampai dan mengancam Kota Yogyakarta. "Kita ada pos pantau di Ngentak. Kalau khusus di Code, karena banyak warga yang tinggal di bantaran, mereka itu sudah ada kearifan lokal. Mereka otomatis naik, saat ada luapan. Jadi, sudah terkondisi, mereka siap siaga menghadapi situasi itu," ucapnya.
Meski begitu, seluruh wilayah yang dilintasi aliran Kali Code, Winongo, dan Gajahwong masuk kategori rawan banjir. Sehingga, hujan deras yang melanda beberapa hari terakhir harus disikapi dengan meningkatkan kewaspadaan. Ada empat kapanewon yang dilintasi ketiga aliran kali itu. Keempatnya meliputi Tegalrejo, Gondokusuman, Danurejan, dan Gondomanan.
"Sepanjang bantaran sungai itu rawan semua. Karakteristik tiga sungai itu berbeda-beda. Makanya, warga yang tinggal di sekitar bantaran harus waspada, karena hujan mulai turun beberapa hari terakhir," katanya, Senin (13/9/21).
Ia tidak menampik, terdapat deretan permukiman penduduk yang berdiri di lahan yang tidak semestinya. Alhasil, ancaman bencana pun tidak dapat dihindari. Akan tetapi, karena warga sudah tinggal di kawasan tersebut dalam waktu relatif lama, kesiapsiagaan itu akhirnya otomatis terbentuk.
"Kita kan ada beberapa wilayah yang memang secara ketentuan tidak untuk hunian. Maka dari itu, kita tidak bisa menghindari bencana. Yang bisa kita lakukan adalah terus siaga dan meresponsnya secara cepat jika terjadi sesuatu. Masyarakat saya rasa sudah terbiasa," jelasnya.
Di samping meningkatkan kewaspadaan, Budi juga meminta supaya warga yang tinggal, atau beraktivitas di bantaran Code, Winongo, dan Gajahwong, bisa berperan aktif dalam meminimalisasi potensi bencana. Yakni, dengan tidak membuang sampahnya secara serampangan. "Sistem drainase harus dijaga. Terus, ketika ada laporan cuaca yang secara periodik disampaikan, terkait curah hujan di atas, agar siaga dan merespons," ujarnya.
Kulon Progo
Sementara itu, Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik, BPBD Kulon Progo, Edi Wibowo mengatakan, menjelang musim penghujan, pihaknya akan menggelar rapat koordinasi (rakor) pada awal November 2021. Sebab, berdasarkan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) musim penghujan terjadi pada akhir Oktober 2021.
Ia menyebut wilayah yang rawan terjadi longsor ada di perbukitan menoreh meliputi sebagian Kapanewon Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, Kokap, dan Pengasih. Sedangkan wilayah yang rawan banjir di bagian selatan Kulon Progo meliputi Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan Temon. Serta bagian selatan Kapanewon Pengasih yakni Kalurahan Tawangsari.
Sementara, Kepala Pelaksana BPBD Kulon Progo, Joko Satyo Agus Nahrowi menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan instansi vertikal seperti Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) untuk upaya normalisasi sungai dan saluran air yang sering menjadi penyebab banjir. Saat ini, hampir semua saluran telah dinormalisasi.
Selain itu sejak 2019 hingga 2021, BPBD Kulon Progo fokus pada pembentukan desa tangguh bencana (destana) di Kapanewon Wates dan Temon. "Diharapkan masyarakat ada kepedulian dan ikut ambil bagian dalam upaya pengurangan risiko bencana di wilayahnya masing-masing. Dengan begitu ada upaya mitigasi mandiri dari pihak kalurahan," tutur Joko.
Pihaknya juga ikut andil dalam penyusunan rencana kontingensi (renkon) banjir dari DIY. "Sebenarnya pemerintah kabupaten (pemkab) harus mempunyai renkon banjir sendiri. Namun kendalanya keterbatasan anggaran. Untuk sementara menggunakan renkon banjir DIY sebagai acuan," ucapnya.
Adapun terkait dengan alokasi penanganan bencana berskala besar nantinya disediakan dari belanja tak terduga (BTT) ditambah anggaran biaya tambahan 2021 sebesar Rp16 miliar. "Tetapi anggaran itu tidak hanya digunakan untuk bencana saja," pungkasnya.
Dropping air
Di sisi lain, BPBD Gunungkidul masih berfokus pada penyaluran (dropping) air bersih. Sebab hingga saat ini masih ada sejumlah wilayah yang kesulitan air bersih. Kepala Pelaksana BPBD Gunungkidul, Edy Basuki mengatakan, sampai saat ini BMKG baru menyampaikan informasi umum terkait prediksi datangnya musim hujan.
"Belum spesifik wilayah tertentu di Gunungkidul misalnya, untuk potensi dampak musim penghujan," jelas Edy, Senin (13/9/2021).
Berdasarkan informasi yang diterima, ia memperkirakan musim penghujan baru dirasakan pada bulan Oktober. Adapun sebelumnya, di akhir September hingga awal Oktober, akan terjadi pancaroba (masa peralihan).
Menurut Edy, pihaknya saat ini lebih mengantisipasi dampak dari masa pancaroba. Sebab biasanya di periode ini, angin bertiup kencang sehingga berpotensi menimbulkan dampak pohon tumbang. "Kami akan bersurat ke seluruh panewu terkait pancaroba ini, sebab dampaknya bisa cukup besar," jelasnya.
Meski belum mengarah ke antisipasi bencana hidrometeorologi, Edy mengatakan persiapan tetap dilakukan. Antara lain memantau wilayah rawan longsor, bantaran sungai, kondisi luweng (gua bawah tanah), hingga dataran rendah.
Terkait anggaran, ia mengatakan tidak ada alokasi khusus untuk penanganan bencana hidrometeorologi. Sebab anggaran bagi BPBD Gunungkidul bersifat umum untuk periode setahun, seperti logistik permakanan hingga bantuan stimulan.
"Logistik permakanan dalam setahun anggarannya Rp60 juta, sedangkan bantuan stimulan antara Rp60 juta sampai Rp70 juta," ungkap Edy.
Jika dana nantinya tak mencukupi, pihaknya akan mengandalkan anggaran Belanja Tak Terduga (BTT). Termasuk menggandeng berbagai pihak dalam penanganan dampak bencana.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Gunungkidul, Agus Wibowo mengatakan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Oya jadi fokus perhatian titik rawan dampak bencana musim penghujan. Khususnya banjir. "Selain DAS Oya, juga wilayah rawan banjir Ledok Wonosari serta pesisir," ujar Agus.
Ia juga mengatakan bencana longsor hingga dampak puting beliung turut jadi perhatian. Adapun longsor berpotensi terjadi di wilayah perbukitan bagian utara dan sebagian selatan Gunungkidul. (aka/scp/alx)
Selengkapnya baca Tribun Jogja edisi Selasa 14 September 2021 halaman 01