Satgas Covid-19 Beri Penjelasan soal Penghapusan Angka Kematian dari Indikator Penanganan Covid-19

Menurut ahli, dihapusnya angka kematian dalam indikator penanganan Covid-19 oleh pemerintah, dianggap salah dan berbahaya.

Editor: Muhammad Fatoni
Dokumentasi BPBD Kota Yogyakarta
Pemakaman Jenazah COVID-19 di Bantul Ditugaskan pada Warga Terlatih 

TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 di Indonesia.

Hal itupun mendapat sorotan dari ahli epidemiologi atau pakar penyakit menular.

Menurut ahli, dihapusnya angka kematian dalam indikator penanganan Covid-19 oleh pemerintah, dianggap salah dan berbahaya.

Diberitakan sebelumnya, pada Selasa (10/8/2021), Pemerintah mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 karena adanya masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (9/8/2021).

Baca juga: Peta Sebaran Kasus Baru Covid-19 Indonesia Sepanjang 24 Jam Terakhir, Jateng dan Jabar Tertinggi

Baca juga: Pasien Covid-19 di Klaten Dikabarkan Meninggal, Sudah Disiapkan Liang Lahat, Ternyata Masih Hidup

Merespon hal tersebut, juru bicara (jubir) Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, buka suara.

Ia menyatakan, penghapusan indikator angka kematian karena Covid-19 hanya bersifat sementara.

Nantinya jika evaluasi dan perbaikan telah rampung, maka data terkait kematian segera kembali masuk dalam sistem pelaporan nasional.

"Tidak dilibatkannya perhitungan indikator kematian hanya sementara saja, paralel dengan upaya perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan nasional," ujar Wiku saat dikonfirmasi, Kamis (12/8/2021).

Menurutnya, kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan data yang valid dengan kondisi riil di lapangan.

"Hal ini demi kebijakan yang tepat melalui data yang valid," imbuhnya.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/10/2020).
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (13/10/2020). (Dok. Youtube/sekretariatpresiden)

Sebelumnya Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi, menjelaskan perihal tak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

“Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian,” kata dia di Jakarta pada Rabu (11/8/2021).

Pemerintah lanjut Jodi, menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat.

Hal itu menyebabkan analisis kondisi suatu daerah menjadi bias.

Tanggapan Ahli 

Melansir dari kompas.com, ahli epidemiologi Dicky Budiman dalam akun Twitternya @drdickybudiman mengatakan bahwa data kematian adalah ukuran vital kesehatan suatu populasi, memberikan informasi pola penyakit yang menyebabkan kematian dari waktu ke waktu.

"Pola kematian menjelaskan perbedaan & perubahan status kesehatan, mengevaluasi strategi kesehatan, memandu perencanaan & pembuatan kebijakan," tulis Dicky dalam twitnya.

Pemakaman Jenazah COVID-19 di Bantul Ditugaskan pada Warga Terlatih (Dokumentasi BPBD Kota Yogyakarta)
Berkaitan dengan keputusan besar yang diambil pemerintah ini, Kompas.com menghubungi Dicky Budiman secara langsung.

Dicky mengatakan dengan tegas bahwa langkah yang diambil pemerintah ini bukan cuma salah dan keliru, tapi berbahaya.

"Selain salah juga berbahaya. Karena indikator kematian adalah indikator kunci saat ada pandemi atau wabah," kata Dicky dihubungi Rabu (11/8/2021).  

Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Kamis (21/5/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona.
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Kamis (21/5/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Dia menjelaskan, indikator angka kematian bukan hanya untuk melihat intervensi di hulu, tapi juga untuk menilai derajat keparahan dari suatu wabah.

Peneliti dan praktisi Kebijakan Keamanan Kesehatan Global di Pusat Kesehatan Lingkungan dan Populasi Griffith University Australia itu melanjutkan bahwa semua penyakit memerlukan indikator kematian, baik itu yang ada kaitannya dengan wabah penyakit atau tidak seperti kanker, stroke, dan diabetes.

Ini perlu dilakukan untuk melihat performa program dalam penanganan penyakit tertentu dan melihat apakah penyakit tersebut menjadi masalah serius atau tidak di suatu wilayah atau negara.

"Ini harus dilihat kematiannya," ungkap dia.

Oleh karena itu, jika indikator angka kematian untuk Covid-19 dihapuskan akan berbahaya.

"Berbahaya karena bisa salah interpretasi, salah strategi, termasuk salah ekspektasi," imbuhnya.

Selain semua pengendalian penyakit memerlukan indikator angka kematian, Dicky berkata, dalam tataran nasional semua negara memerlukan statistik angka kematian yang akurat dan tepat waktu.

"Memang itu idealnya (akurat dan tepat waktu). Tapi bukan berarti kalau enggak akurat dan tepat waktu kemudian dihapuskan, bukan seperti itu," tegasnya.

Dicky yang juga menjadi penasehat bagi Pemerintah Indonesia dalam membuat strategi penanganan pandemi mengatakan bahwa dirinya mengusulkan bahwa manajemen data harus ditingkatkan.

Baca juga: Data WHO : Inilah 5 Penyebab Kematian Tertinggi di Dunia, Serangan Jantung Teratas

Baca juga: Ini Target Waktu WHO untuk Lakukan Vaksinasi 70 Persen Penduduk Dunia

Dia berkata, statistik angka kematian penting untuk menginformasikan bagaimana performa kebijakan kesehatan, strategi, dan dampak terhadap strategi yang juga meliputi sosial dan ekonomi.

Inilah yang menyebabkan seluruh dunia menggunakan angka kematian untuk memantau kemajuan suatu negara dalam membangun kesehatan nasional.

"Begitu pentingnya statistik kematian, jadi tidak boleh diabaikan," tegasnya.

Dalam twit yang lain, Dicky juga menuliskan bahwa respons pandemi ditujukan antara lin untuk mengurangi kematian.

Karena itulah, dia berkata, memahami berapa banyak kematian yang terjadi sangat penting sebagai tolak ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan intervensi yang dilakukan.

"Kapasitas pelaporan yang terbatas harus diperbaiki," tulisnya.

( */ tribunnews/ kompas.com )

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved