PRIHATIN, Hanya 30 Persen Siswa yang Punya Handphone Sendiri untuk PJJ di Gunungkidul

"Daerah yang benar-benar menengah ke bawah. Sebanyak 25 persen siswa diasuh oleh simbahnya, 50 persen dikategorikan siswa miskin.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
Tangkapan Layar
Webinar Sonjo Jogja #44 dengan tema Belajar Pada Masa Pandemi di Tengah Himpitan Ekonomi, Minggu (14/2/2021) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Selama pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat (PSTKM) yang masih berlaku hingga kini, pemerintah daerah DIY melarang diadakannya pembelajaran tatap muka dan memperbolehkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). 

Meski sudah hampir satu tahun PJJ berlangsung, ternyata masih banyak kendala yang harus dihadapi guru, siswa, maupun orang tua. 

Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Siraman Gunungkidul, Ngatijo mengungkapkan keadaan SDnya yang berjarak 4 km dari Kota Wonosari. 

SD Muhammadiyah Siraman memiliki 109 siswa serta 14 guru dan PTK yang semuanya merupakan tenaga honorer. 

Baca juga: Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih di Sleman Masih Tunggu Kebijakan Pusat

Secara sosiologis, 60 persen wali murid di sana merupakan wiraswasta, buruh sebanyak 34 orang, petani 16 orang, dan PNS hanya 4 orang. 

"Daerah yang benar-benar menengah ke bawah. Sebanyak 25 persen siswa diasuh oleh simbahnya, 50 persen dikategorikan siswa miskin. Siswa yang memiliki HP sendiri hanya 30 persen, selebihnya milik HP orang tua mereka yang masih dibawa orang tuanya ketika bekerja," tutur Ngatijo dalam webinar Sonjo Jogja #44, Minggu (14/2/2021). 

Sejak diterapkan BDR baik daring maupun luring, ia melanjutkan, segala kendala dan keterbatasan tidak hanya dialami wali murid.

Namun juga guru, orang tua, dan masyarakat yang mau tidak mau harus siap menghadapinya. 

Ia menyebutkan, beberapa kendala yang muncul, yakni pertama, jawaban atau tugas siswa terlambat dikirim karena HP dibawa orang tua bekerja atau karena kendala blankspot. 

Kedua, walaupun anak memiliki HP, tetapi seringkali tidak mendukung, semisal memorinya terbatas.

Ketiga, pengiriman foto atau video terkadang blur atau tidak jelas, sehingga sulit atau tidak dapat dibaca. 

Keempat, ketika anak di rumah tidak bisa fokus belajar dan harus menunggu orang tua. Kelima, anak susah belajar di rumah karena kurang penjelasan orang tua, orang tua juga tidak bisa menjelaskan pelajaran kepada anak dengan baik.

"Sehingga tugas yang dikirim anak itu asal kirim saja," imbuhnya. 

Kendati demikian, Ngatijo melanjutkan, pihaknya tidak menyerah begitu saja dengan segala keterbatasan itu. 

Setiap akhir, sekolah mengadakan evaluasi bagaimana masalah-masalah yang ada.

Kedua, pihaknya memanggil wali murid yang banyak masalah pengiriman atau sering terlambat mengirim. 

Ketiga, dalam PJJ ini pihaknya menerapkan daring dan luring, di antaranya dengan home visit ke rumah siswa, belajar terbatas di rumah wali murid atau musala, sekolah juga menyiapkan modul atau lembar kerja dan soal tertulis yang diambil ke sekolah. 

"Ketika mengambil di sekolah protokol kesehatan benar-benar kami terapkan. Kami juga membuat buku panduan belajar dan ibadah yang dipantau oleh orang tua dan setiap minggu dikirim," ungkapnya. 

"Kita tunggu sampai tanggal 22 Februari, kita harapkan (sekolah) sudah dibuka walaupun dengan protokol kesehatan ketat," sambungnya. 

Sementara itu, Kepala SMP Negeri 4 Semin, Gunungkidul, Surti Alfiah ikut menuturkan kondisi di sekolahnya. 

Di SMP Negeri 4 Semin terdapat 182 murid. Kondisi orang tua di antaranya, 34,3 persen petani, 33,5 wiraswasta, 18 persen buruh, dan lain-lain semisal PNS hanya 1 persen. 

"Berasal dari ekonomi bawah. Sebagian besar siswa tidak tinggal dengan orang tua, tetapi tinggal dengan simbah atau keluarganya seperti Pakdenya," ungkapnya. 

Surti menerangkan, penggunaan video untuk PJJ ternyata mengalami kendala karena memakan kuota yang sangat banyak.

"Saat ini justru dikurangi (penggunaan video)," bebernya. 

Untuk memantau keaktifan anak, pihaknya membentuk grup-grup orang tua. 

Permasalahan lain yang Surti dan guru-guru SMP Negeri 4 Semin hadapi, tidak semua siswa memiliki fasilitas HP.

Kalau pun punya, spesifikasinya belum memenuhi standar. 

Menurutnya, tidak sampai 50 persen siswa yang memiliki HP sendiri.

Apalagi banyak yang di dalam satu keluarga hanya ada satu HP, tetapi yang membutuhkan belajar tidak hanya 1 siswa. 

"Belakangan ini banyak siswa yang melaporkan HP-nya rusak ditambah lagi mereka kesulitan membeli kuota internet. Permasalahan kuota sangat dialami oleh anak-anak," ucap Surti. 

Baca juga: KEJAHATAN JALANAN, Bacok Orang Tak Dikenal, Tiga Pelajar Diringkus Polres Bantul

Tak hanya itu, lanjutnya, siswa pun mengalami kejenuhan dalam menjalani PJJ.

Terlebih, kondisi sekolahnya di wilayah perbukitan, sehingga seringkali mengalami kendala sinyal.

"Kami carikan solusi dengan mengadakan berbagai macam lomba virtual agar anak-anak tidak jenuh," imbuh Surti. 

Terkait kesulitan kuota internet, ia menuturkan, sekolah memberi bantuan kuota. Bantuan itu sudah diberikan sejak semester kemarin hingga kini. 

Pihaknya juga melakukan home visit kepada anak yang mengalami kendala.

Di samping itu, memberikan buku-buku latihan soal untuk kelas IX yang akan menghadapi ujian sekolah.

Semua bapak ibu guru pun memberikan layanan privat untuk pendalaman materi para siswa. 

"Harapan kami, bantuan kuota tetap diberikan seperti kemarin, tetapi tidak terbatas pada akun-akun tertentu. Kedua, pemerintah memberi WiFi di tempat-tempat umum seperti masjid dan balai-balai dusun. Semoga wilayah-wilayah zona hijau diberikan kesempatan untuk belajar tatap muka," tandas Surti. (uti) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved