Murid Ki Seno Nugroho, Ki Sigid Ariyanto Malam Ini Pentas Climen Bareng Wargo Laras
Pergelaran wayang kulit lakon Bima Suci ini akan disiarkan secara daring lewat kanal You Tube Dalang Seno dan Ki Seno Nugroho, mulai pukul 20.00 WIB.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Dalang kenamaan dari Rembang, Ki Sigid Ariyanto, Sabtu (13/2/2021) malam ini bakal pentas wayang kulit bersama kru Wargo Laras Classic.
Pergelaran wayang kulit lakon Bima Suci ini akan disiarkan secara daring lewat kanal You Tube Dalang Seno dan Ki Seno Nugroho, mulai pukul 20.00 WIB.
Pentas Wayang Climen ini dipersembahkan Warsini Tumiyono dalam rangka tasyakuran ke-56 suaminya, Ir Tumiyono, yang juga pemilik PT Widodo Makmur, perusahaan peternakan ayam di Klaten, Jateng.
Pementasan Wayang Climen Bima Suci oleh Wargo Laras Classic dan dalang Ki Sigid Ariyanto, diiringi pesinden Tatin Handayani, Elisha Orcarus, Prastiwi, Ridho, dan Lian Sindhu.
Baca juga: Eksklusif Foto-foto Putra Ki Seno Nugroho Sakit Jelang Pentas dan Masukan Teman Ayahnya
Ki Sigid Ariyanto ini dikenal murid pertama Ki Seno Nugroho, dan dalang yang mampu secara pas menirukan ‘bagongan’ ala Ki Seno Nugroho.
Penampilan perdana Ki Sigid Aryanto SSn yang memukau dan memikat fans berat Ki Seno Nugroho terjadi saat pentas wayang climen daring Jumat (18/12/2020) malam.
Ribuan pemirsa siaran streaming memuji Ki Sigid Ariyanto.
Banyak penggemar Ki Seno Nugroho menganggap “bagongan” gaya Ki Seno Nugroho seolah hidup lagi di tangan Ki Sigid Aryanto.
Beberapa kali saat memainkan sosok punokawan Bagong, Ki Sigid Ariyanto memang berhasil menirukan nyaris persis apa yang selama ini jadi citra keunggulan Ki Seno Nugroho.
Baik suara Bagong yang serak-serak khas, serta celetukan dan banyolan yang kerap diucapkan putra Semar Bodronoyo itu.
Bahkan, Ki Sigid Aryanto juga mampu memainkan sosok Raja Mandura, Prabu Baladewa, hampir persis seperti yang dulu dibawakan almarhum Ki Seno Nugroho.
Baca juga: Kelir Abadi, Klip Video Lagu Keluarga untuk Ki Seno Nugroho Resmi Tayang
Kilas Balik Bagongan Ala Ki Sigid Ariyanto
Kilas balik momen menarik ini, Ki Sigid Ariyanto yang alumni jurusan pedalangan ISIS Surakarta ini memainkan lakon khusus “Seno Swarga”.
Pentas Wayang Climen digelar di Joglo Tunggul Pawenang, Gayam, Argosari, Sedayu, Bantul, dalam umbul donga untuk almarhum Ki Seno Nugroho.
Pergelaran Wayang Climen ini disiarkan secara daring lewat kanal You Tube Ki Seno Nugroho dan Dalang Seno.
Pada puncak pentas, penonton di kedua kanal ini mencapai sekira 16 ribu viewers. Pentas 3,5 jam diiringkan pesinden Tatin Lestari Handayani, Ika Suhesti, Elisha Orcarus Alasso, Ayu, Neti Wulandari, dan Prastiwi.
Sejak awal pertunjukan, penampilan Ki Sigid Aryanto memang sangat memikat.
Permainan tiga gunungan (kayon) secara bersamaan di babak pembukaan, menggambarkan secara kuat sosok Werkudoro atau Bimaseno yang bertubuh besar hitam.
Seno atau Bimasena ini jadi tokoh utama di lakon Sena Swargo, sekaligus mengingatkan sosok raksasa Pandawa ini digunakan almarhum Ki Seno Nugroho sebagai personifikasi dirinya, selain Bagong.
Ki Seno Nugroho pun menamai kediaman baru keluarganya di Gayam sebagai Dalem Jodhipati, identik daerah kekuasaan Werkudoro atau Bimasena di pewayangan.
Lakon Seno Swarga intinya menceritakan proses pencarian dan akhir hayat Bimasena yang ingin menghadapi kematian (moksa) secara sempurna.
Penampilan gemilang Ki Sigit Aryanto, yang seolah menghidupkan sosok Bagong dan Werkudoro ala Ki Seno Nugroho, akhirnya terjawab di babak goro-goro.
Dibuka tembang “Kudangan”, Ki Sigit mengeluarkan sosok Petruk dan Bagong, yang lantas terlibat dialog panjang.
Baca juga: Ki Manteb Ceritakan Kisah Kedekatan dengan Ki Seno pada Babak Goro-Goro
Bagong menari-nari riang gembira menyambut tembang rancak yang dibawakan koor sinden.
“Lagu kesenengamu,” kata Petruk.
“Hooh,” sahut Bagong.
“Lagu kutangan iku senenganku,” imbuh Bagong, yang langsung dikoreksi Petruk, “Kuuudangaaan!”
“Haah..diganti po?” sahut Bagong yang suaranya sengau serak.
“Yo asline kuwi kok,” jawab Petruk.
Adegan ini disambut tawa meriah wiyogo, sinden, dan penonton di lokasi pentas.
Suara Ki Sigid saat Bagong berbicara, benar-benar persis dan khas Ki Seno Nugroho.
Bagian inilah yang mengawali banjir pujian para penonton, selain keandalan Ki Sigid menyabetkan wayang (adegan perang tanding).
Lewat sosok Petruk, di babak goro-goro ini, Ki Sigid Aryanto menceritakan seberapa dalam kedekatan dan persaudaraan dirinya dengan Ki Seno Nugroho.
Ia mengenal dan dekat dengan Ki Seno sudah sangat lama di Mangkusuman.
“Sejak masa susah sengsara. Mas Seno masih pakai mobil Kijang kotak, motornya Shogun biru,” kata Ki Sigid.
Waktu itu Ki Sigid masih sekolah pedalangan di Solo (ISI), dan kerap mondar-mandir Solo-Yogya.
“Kalau tak punya uang ya Mangkusuman, sama Gendut,” kenang Ki Sigid.
Baca juga: Nasib Paguyuban Wargo Laras Setelah Ditinggal Ki Seno Nugroho, Ini Kisahnya
Garis Besar Lakon Bima Suci
Malam ini, Ki Sigid Ariyanto akan membawakan lakon yang umumnya digemari kalangan kasepuhan karena maknanya yang mendalam.
Lakon Bima Suci mengisahkan asal dan tujuan hidup manusia, atau dalam Jawa dikenal lewat istilah, sangkan paraning dumadi.
Secara falsafah Jawa juga banyak kalangan mengenal kehidupan spiritual ketika manusia ingin menyatu dengan Tuhannya (manunggaling kawulo lan Gusti).
Dalam praktiknya, setiap dalang akan memainkan lakon ini dalam variasi-variasi berbeda, tergantung bagaimana ia membuat sanggit.
Ahli sastra sejarah Prof Poerbatjaraka dalam penelitiannya 1940, menemukan sekira 29 naskah lakon Bima Suci.
Ada 19 naskah kini tersimpan di arsip perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Mengutip wayang.wordpress.com, ada dua lakon besar yang menyodorkan dua figur hampir serupa, Nawaruci dan Dewaruci (Prijohoetomo, 1930).
Kitab Nawaruci juga dikenal sebagai Sang Hyang Tat-twajnana (kitab tentang hakekat hidup), ditulis Empu Siwamurti berlatar budaya Majapahit.
Pada jaman itu mistik Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci, dilengkapi unsur-unsur Islam dan dipentaskan dalam dunia perwayangan.
Alur ceritera Dewaruci/Bima Suci dipengaruhi kisah Markandeya dari India.
Dikisahkan Markandeya mengarungi samudera dan berjumpa anak kecil.
Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya masuk tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi alam semesta.
Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada.
Baca juga: Cerita Ki Manteb Sudarsono Saat Bawakan Goro-Goro Pada 100 Hari Wafatnya Ki Seno Nugroho
Dalam kisah yang menonjolkan sosok Bima, atas perintah gurunya, Pendeta Durna, Bima disuruh mencari banyu perwitasari (air kehidupan).
Bima menuju hutan Tikbrasara yang terletak di gunung Reksa Muka (mata).
Di hutan ini Bima dihadang dua raksasa Rukmuka dan Rukmokala.
Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu.
Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan sejati” (perwitasari), Bima harus melalui semadi yang dilambangkan hutan Tibaksara dan gunung Reksomuka.
Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang kamukten dan kamulyan.
Kisah selanjutnya, Bima tahu air ‘perwitasari’ tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di Gunung Reksamuka, tetapi di dasar samudera.
Maka perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra pangaksama=pengampunan).
Dalam samudra bertarung melawan naga, simbol kejahatan atau keburukan.
Bima membunuhnya.
Ini berarti memperoleh banyu perwitasari tidak cukup membuang kamukten dan kamulyan (dua raksasa).
Tetapi harus juga berani mengampuni orang-orang yang bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam dirinya (masuk samudra pengampunan dan membunuh naga kejahatan).
Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima ketemu Dewaruci, yang persis dirinya, namun dalam ukuran kecil.
Bima masuk ke badan Dewaruci melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci, Bima melihat seluruh isi semesta alam.
Bima bersemedi secara benar, menutup mata, mengatur napas, pikirannya konsentrasi dalam perasaan batin bersih.
Bima menerima terang atau wahyu sejati. ( Tribunjogja.com/xna )