Jungkir Balik Hidup Legenda PSIM dan PSS Sleman, Cerita Dedi Setiawan Sempat Jadi Tukang Ojek

Kebanyakan alasannya adalah sepak bola di Indonesia tidak bisa menjamin hidupnya, bahkan ketika masih berstatus pemain profesional.

Penulis: Taufiq Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
Istimewa
Dedi Setiawan 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Menjadi legenda sepak bola di Indonesia terkadang tidak selalu berbuah manis.

Ada yang terus bertahan berkecimpung di dunia sepak bola sebagai pelatih tim pro atau akademi, staff maupun ikut federasi sepak bola.

Ada juga yang berakhir menjadi seorang pekerja kantoran, atau menjadi pengusaha.

Kebanyakan alasannya adalah sepak bola di Indonesia tidak bisa menjamin hidupnya, bahkan ketika masih berstatus pemain profesional.

Tidak jarang, para pemain memiliki bisnis atau pekerjaan sampingan di luar sepak bola.

Baca juga: Empat Kalurahan di Girisubo Gunungkidul Terdampak Banjir, Angka Kerugian Capai Rp 20 Juta

Hal ini juga terjadi kepada legenda hidup PSIM Yogyakarta sekaligus PSS Sleman, Dedi Setiawan.

Hari-harinya kini bekerja sebagi karyawan Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta.

"Waktu itu sepak bola di indonesia gak bisa dijadikan pegangan hidup, jadi cari pekerjaan lain," katanya saat ditemui Tribun Jogja di sela-selan pekerjaannya, Minggu (31/1/2021).

Dedi juga pernah merasakan bekerja di sebuah pabrik sepatu dan jaket sebagi supir di Jakarta, dan supir ojek daring setelah pulang ke Yogyakarta.

Baginya sepak bola adalah hobi yang mendarah daging, betapa tidak, Dedi telah mengikuti berbagai kompetisi sepak bola sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) yang bermain di Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI).

Saat Sekolah Menengah Atas (SMA), Dedi sudah bermain sebagai punggawa PSIM junior untuk mengikuti Hari Olahraga Nasional (Haornas).

Belum lagi ia juga terpilih sebagai sebelas utama pada Piala Soeratin 1992-1993. Laga inilah yang mengantarkan Dedi muda bermain di tim PSIM senior saat umurnya masih berusia 18 tahun.

"Dulu yang lainnya senior, saya paling muda, dan pemain asli Yogyakarta itu jarang dulu," kenangnya.

Berselang satu tahun bersama tim senior, kehebatan Dedi dalam mengolah si kulit bundar tercium oleh Pelita Jaya pada tahun 1995.

Siapa sangka, hanya ada dua pemain dari Yogyakarta yang direkrut Pelita Jaya kala itu, ia adalah pelatih dengan nama besar hingga saat ini, Seto Nurdiyantara.

Belum lagi, saat berkostum Pelita Jaya, Dedi juga bermain dengan nama-nama tenar seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Indrianto, hingga Yeyen Tumena.

Namun, karirnya dipaksa berhenti oleh keadaan kahar krisis moneter tahun 1998.

Padahal hanya tersisa tiga pertandingan untuk Pelita Jaya memastikan gelar juara Liga 1 saat itu.

"Saya sangat kecewa, akhirnya saya pilih pulang ke Yogya," ucap pemain yang bertugas sebagai full back itu.

Menjalani musim baru, pada medio tahun 2000, Dedi resmi bermain bersama PSS Sleman hingga tahun 2002.

Dua tahun ia bersama skuad Elang Jawa adalah hal yang berkesan selama karirnya menjadi pemain pro.

Selain terkesan karena timnya yang solid, Dedi dan kawan-kawan berhasil menumbangkan mantan klubnya Pelita Jaya di putaran Liga 1 dengan skor tipis 2-1.

Masa itu adalah masa Dedi paling betah bermain sepak bola, selain di umur keemasanya, ia suka dengan suporter PSS Sleman yang setia mendukung timnya di manapun mereka bermain.

"Saya juga suka, saat itu tidak tawuran antara suporter PSS dan PSIM seperti sekarang," ujarnya pendek.

Berakhirnya masa kontrak sebagai pemain PSS Sleman, Dedi kemudian bermain bersama Persiba Bantul dari tahun 2003 hingga 2005.

Di sana Dedi bertemu dengan pelatih yang paling diidolakannya, Nandar Iskandar.

Ia menilai sosok pelatih yang satu ini adalah orang yang cerdas dan penyabar, tahu apa yang dibutuhkan para pemainnya di lapangan.

Pada sisa karirnya, Dedi menghabiskan waktu selama satu tahun bersama PPSM Magelang.

Sebelum akhirnya memutuskan memilih bekerja di bidang lain.

Namun, akhir-akhir ini Dedi mulai tertarik menjadi seorang pelatih sepak bola, rencananya ia akan mengikuti kursus kepelatihan lisensi D bulan februari mendatang bersama Asprov DIY.

Baca juga: Empat Kalurahan di Girisubo Gunungkidul Terdampak Banjir, Angka Kerugian Capai Rp 20 Juta

"Dulu saya sempat jauh sama sepak bola, karena tuntutan pekerjaan di Jakarta, sekarang di Yogya malah sering bal-balan," ucapnya sumringah.

Targetnya, Dedi ingin segera dapat melatih anak-anal usia dini di akademi dan Sekolah Sepak Bola (SSB).

Sepak bola selalu membawa gairah positif bagi Dedi, hal itulah yang ingin ia bagikan kepada anak-anak yang mencintai sepak bola.

Hingga saat ini ia mengaku masih sering berkomunikasi dengan teman-teman timnya dulu.

"Kalau ada yang ke Yogya, pasti pada mampir ke rumah saya," tandasnya.

Siapa sangka, Dedi pernah diterima kuliah di D3 UGM, namun urung diambilnya, lantaran lebih memilih latihan sepak bola, ketimbang belajar di ruangan. (tsf)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved