Penolak Vaksin Sebut Pemaksaan sebagai Pelanggaran HAM, Ini Pendapat Pakar Epidemiologi UGM
Menurut Pakar Epidemiologi Klinik FK-KMK UGM, Prof dr Moh Hakimi, SpOG(K), PhD, perspektif HAM dalam kasus penyakit menular perlu diperluas.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Suara-suara pro dan kontra di kalangan masyarakat terkait penerimaan vaksin COVID-19 masih terus bergulir.
Sebagian di antaranya menolak menerima vaksin COVID-19 dan menganggap pemaksaan penerimaan vaksin sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Namun, Pakar Epidemiologi Klinik dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof dr Moh Hakimi, SpOG(K), PhD memiliki pandangan lain terkait hal ini.
Menurutnya, dalam dalam perspektif bioetika penyakit menular, seorang pasien bukan hanya dianggap sebagai victim (korban), tetapi juga vektor atau orang yang membawa virus. Yang mana, pasien tersebut dapat menularkan penyakit kepada orang lain dan merampas HAM orang lain tersebut untuk tetap sehat.
Sehingga, menurut Hakimi, perspektif HAM dalam kasus penyakit menular perlu diperluas.
Tidak hanya bagi individu, tetapi juga orang-orang lain yang mungkin tertular.
"Jika memaksa orang untuk divaksin itu melanggar HAM orang lain, tetapi kalau kita menjadi vektor (pembawa virus) kemudian menulari orang lain seperti anak kita, orang tua kita, maka bagaimana HAM mereka? Maka menurut saya, pandangan tentang HAM ini perlu diperluas, tidak hanya individu tapi menyangkut orang-orang lain yang bisa tertular," paparnya dalam webinar CBMH (Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran FK-KMK) UGM, Rabu (20/1/2021).
Ia menerangkan, perspektif bioetika kesehatan individu menganggap pasien sebagai korban.
Namun, berbeda halnya dengan perspektif bioetika penyakit menular, yang mana pasien tidak hanya dipandang sebagai korban, tetapi juga vektor.
Artinya ia bisa menularkan penyakitnya kepada orang lain.
"Kalau semua orang tahu konsep ini tidak akan ada masalah karena akan memandu kebijakan jika ada kasus," imbuhnya.
Kendati demikian, ungkapnya, tetap ada rambu-rambu yang diterapkan untuk menjaga kepercayaan diri dan privasi pasien tersebut.
Semisal, dalam tracing kontak COVID-19, bisa dibedakan potensial kontak dan aktual kontak, sehingga bukaan informasi mengenai pasien dapat dibatasi.
Hakimi menambahkan, terdapat beberapa prinsip etika kesehatan masyarakat.
Antara lain, untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan publik, menjamin ekuitas dan distribusi alokasi sumber-sumber secara adil.
Selanjutnya, menghormati integritas semua orang, memakai cara yang paling tidak membatasi, mengoptimalisasi rasio risiko manfaat, dan bekerja dengan transparan dan akuntabel. ( Tribunjogja.com )