Guru Besar UGM Masuk 10 Tokoh Berpengaruh Dunia, Dapat Julukan Sebagai Komandan Nyamuk

"Mosquito Commander" atau "Komandan Nyamuk". Begitulah Nature menjuluki Prof Adi Utarini dalam artikel yang dirilis pada 15 Desember 2020 itu

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ikrob Didik Irawan
ist
Kolase: Prof Adi Utarini dan penelitiannya 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Jurnal sains terkemuka, Nature, baru-baru ini merilis daftar 10 tokoh berpengaruh di dunia tahun 2020 untuk bidang sains.

Satu di antara tokoh tersebut berasal dari Indonesia, yakni Prof Adi Utarini yang merupakan Guru Besar dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM sekaligus Project Leader World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta. 

"Mosquito Commander" atau "Komandan Nyamuk". Begitulah Nature menjuluki Prof Adi Utarini dalam artikel yang dirilis pada 15 Desember 2020 itu.

Namanya berada di urutan keempat bersanding dengan sembilan tokoh lain.

Termasuk berada di dalamnya Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern. 

Apresiasi yang diberi judul Nature's 10: ten people who helped shape science in 2020 itu merupakan agenda tahunan yang dilakukan tim redaksi dan editorial Nature untuk memilih tokoh dengan peran besar dalam perkembangan sains dunia.

Prof Adi Utarini
Prof Adi Utarini (ist)

Prof Adi Utarini terpilih karena penelitian yang ia pimpin dalam pengendalian demam berdarah dengue (DBD) menggunakan metodologi randomised controlled trial (RCT). 

Tak pernah terbayang dalam benak Uut, sapaan akrab Prof Adi Utarini, akan mendapat penghargaan tingkat dunia semacam itu sebelumnya.

Saat proses pemilihan yang dilakukan Nature kepada dirinya pun Uut tak pernah menyadari. 

"Saya juga baru tahu sekarang kalau ada seperti itu. Sekitar 2-4 minggu sebelum dirilis nama-nama oleh Nature itu, saya dikontak untuk wawancara. Sepertinya mereka pusatnya di London, kami ngobrol ngalor ngidul. Saya pikir akan ditulis untuk artikel biasa," tutur perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 Juni 1965 ini. 

Tak lama waktu berselang, wartawan yang menghubungi Uut saat itu masih menanyakan beberapa hal detail lainnya satu dua kali.

Hingga suatu ketika ia diberi tahu bahwa akan ada fotografer yang datang untuk mengambil foto.

"Saya mbatin kok foto saja harus dengan fotografer, biasanya hanya minta. Saya pikir, oh mungkin sekelas Nature protokolnya memang seperti itu," imbuhnya. 

Beberapa saat kemudian, seorang fotografer 'bule' mendatangi Uut untuk pengambilan foto di rumahnya.

Hari-hari berganti, beberapa jam pada hari H sebelum Nature merilis nama-nama tokoh dunia tersebut Uut diberi tahu melalui surat elektronik bahwa dirinya akan masuk dalam artikel yang ditulis Nature. 

"Nanti kamu akan ditulis dalam artikel termasuk 10 yang apa itu, tapi tolong jangan bilang dulu ke yang lain, tunggu Nature mengeluarkan artikelnya itu dulu. Begitu kata mereka," ungkap Uut. 

"Sepertinya mereka sendiri berdiskusi lalu merilis nama-nama itu. Bukan kami yang mengajukan atau kompetisi. Banyak yang tanya ke saya, kok bisa, ya saya juga enggak ngerti, tanya saja sama Nature. Tidak ada proses dalam tanda petik yang istimewa," sambungnya. 

Atas apresiasi tersebut, Uut mengungkapkan, tentu ada rasa syukur yang sangat besar karena ini penghargaan luar biasa untuk penelitian.

Namun, ia tak pernah menganggap hal ini sebagai penghargaan atas dirinya pribadi. Melainkan ini merupakan apresiasi kepada tim peneliti WMP Yogyakarta. 

Proses pengembangbiakan nyamuk ber-Wolbachia di Laboratorium Entomologi WMP Yogyakarta.
Proses pengembangbiakan nyamuk ber-Wolbachia di Laboratorium Entomologi WMP Yogyakarta. (Ist)

"Saya enggak pernah menganggap ini sebagai penghargaan pribadi. Ini adalah apresiasi untuk seluruh tim penelitian World Mosquito Program Yogyakarta karena saya itu ya mungkin cuma, ya memang harus ada yang mewakili. Ini apresiasi untuk seluruh tim, masyarakat Yogyakarta, pemerintah daerah, Pak Gubernur. Sejak awal merekalah yang membuka pintu, kalau mereka tidak membuka pintu itu kami peneliti juga tidak bisa apa-apa," tutur Uut. 

Wanita yang pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Riset Nasional Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2015-2017 ini menuturkan, masyarakat dan pemerintah daerah (Pemda) telah menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada UGM dan tim WMP Yogyakarta, oleh sebab itu Uut dan peneliti lainnya dapat berada sampai saat ini. 

"Siapa yang hebat? Yang hebat ya masyarakatnya itu. Itu yang luar biasa," ungkap istri dari almarhum Prof Iwan Dwiprahasto ini. 

Dalam rangka memberantas penyakit DBD, WMP Yogyakarta telah mengembangkan teknologi nyamuk aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia sejak 2011 hingga saat ini di DIY. Adapun Uut baru bergabung dalam tim tersebut sejak 2013.

Dengan nyamuk ber-Wolbachia, transmisi virus dengue dari nyamuk ke manusia bisa dicegah. Sebab, bakteri Wolbachia pada nyamuk mampu memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk.

Uut menjelaskan, hasil yang didapat dari teknologi nyamuk ber-Wolbachia yang timnya kembangkan ternyata sangat signifikan.

Yakni, mampu menurunkan 77 persen kasus DBD pada wilayah intervensi dengan nyamuk aedes aegypti ber-Wolbachia. Wilayah yang sudah dilakukan intervensi di antaranya Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. 

Menurut Uut, penelitian dengan metode RCT yang dilakukan WMP Yogyakarta adalah penelitian pertama dengan sampel terbesar di dunia.

RCT dipilih karena pihaknya ingin melakukan penelitian dengan standar ilmiah dan quality control yang terbaik.

Desain RCT diyakini dapat memberikan tingkat kepercayaan tertinggi kepada masyarakat dibanding desain yang lain.

Penelitian pertama dunia dalam skala besar 

"Teknologi nyamuk ber-Wolbachia ini sudah dilakukan di beberapa negara seperti Australia, Vietnam, dan Brazil. Tetapi yang di Yogyakarta ini adalah penelitian pertama dalam skala sebesar ini untuk membuktikan bahwa teknologi ini memang bekerja dan menghasilkan penurunan," terangnya. 

"Kami melakukan penelitian yang membuktikan itu dalam skala sebesar ini dan metodologi RCT di bidang kesehatan itu memang yang pertama. Yang kemudian kami menguatkan bukti-bukti dan hasil-hasil penelitian yang diperoleh di negara-negara lain," sambungnya. 

Uut menyampaikan, dirinya memaknai apresiasi yang diberikan Nature sebagai pesan bahwa penelitian harus bisa diterapkan untuk kepentingan masyarakat luas. 

"Setiap kali ditemukan teknologi baru merupakan suatu hal yang berharga, namun bagaimana kita bisa menerapkan penelitian itu untuk kepentingan masyarakat luas itu saya kira salah satu pesan yang ingin disampaikan oleh Nature," ucapnya. 

"Ibaratnya untuk peneliti itu kita harus membuat masyarakat tertarik, pemerintah tertarik, dan proses itu sendiri sangat penting untuk kami bisa sampai di sini," sambung Uut yang juga seorang pianis andal.  

Saat ini, WMP Yogyakarta sejak September sudah menyebarkan nyamuk di wilayah kontrol di Kota Yogyakarta yang sebelumnya belum disebarkan nyamuk ber-Wolbachia. 

Selanjutnya, direncanakan pada 2021-2022 timnya akan melakukan pelepasan nyamuk di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.

"Konteksnya bukan riset lagi, tapi lebih ke mengajak masyarakat dan Pemda untuk menerapkan teknologinya," tandas Uut. (uti) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved