Nasional
PUKAT UGM Apresiasi Kinerja KPK, Minta Alasan Bansos COVID-19 Jadi Pemberat Proses Hukum Koruptor
KPK melakukan OTT kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Program Bansos Kementerian Sosial (Kemensos).
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Program Bansos Kementerian Sosial (Kemensos) pada Sabtu (5/12/2020) dini hari.
Penangkapan tersebut dilakukan karena dugaan gratifikasi.
Ketua KPK, Firli Bahuri mengungkapkan, PPK itu diduga telah menerima hadiah dari para vendor pengadaan barang/jasa (PBJ) bansos di Kemensos.
Bansos itu dalam kaitan penanganan pandemi COVID-19.
"Diduga telah menerima hadiah dari para vendor PBJ Bansos di Kemensos dalam rangka penanganan pandemi COVID-19," ujar Firli dilansir dari Kompas.com, Sabtu (5/12/2020).
Baca juga: KPK Lakukan OTT Terhadap Pejabat Kemensos RI, Diduga Terkait Kasus Gratifikasi Bansos Covid-19
Menurut Firli, PPK yang kini berstatus terperiksa telah dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk keperluan pemeriksaan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yuris Rezha Kurniawan menyatakan apresiasinya pada kinerja KPK ini.
“Di tengah keterbatasan kewenangan yang dimiliki KPK saat ini, pegawai-pegawai KPK masih cukup giat melakukan OTT meski kita sama-sama tahu pasca revisi UU KPK itu kan ada beberapa kewenangan KPK yang diperlemah. Salah satunya tekait penyadapan,” ujarnya saat dihubungi Tribunjogja.com, Sabtu (5/12/2020).
“Penyadapan KPK hari ini tidak mudah. Karena prosesnya panjang, harus melalui dewan pengawas, dan sebagainya. Semoga ini menjadi jawaban atas keraguan masyarakat, tentu harus konsisten untuk ke depannya,” sambung Yuris.
Adapun terkait isu dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) ini sendiri, Yuris mengatakan karena ini terkait dana bansos penanganan COVID-19, hal tersebut harus menjadi petimbangan yang kuat bagi KPK untuk mengusut siapa pun yang terlibat.
Baca juga: Tiga Menteri di Era Presiden Jokowi yang Tersandung Kasus Korupsi
Artinya, kata dia, ketika OTT nanti sudah ditemukan di mana akar permasalahannya dan siapa saja yang terlibat.
“Harus diurai, artinya tidak hanya orang-orang yang terlibat OTT saja, tetapi juga yang diduga terlibat dalam kasus ini,” imbuhnya.
Yuris menegaskan, hal ini penting karena jika benar objek dana yang dikorupsi adalah bansos penanggulangan COVID-19, di dalam UU Tipikor sangat jelas diatur bahwa dalam kondisi bencana ada perlakuan khusus dalam menangani Tipikor.
Semisal, pidana maksimal bisa sampai hukuman mati.
“Dari sini kan kita bisa melihat seharusnya tidak boleh ini anggaran yang sifatnya dalam kondisi bencana dikorupsi. Misalnya dugaan ini benar, tentu harus ada pemberat bagi pelakunya yang melakukan Tipikor di masa bencana,” ungkap Yuris.
Ia menjelaskan, objek bansos COVID-19 tersebut harus dijadikan alasan pemberat dalam proses hukum yang nanti dilakukan penyidik KPK, jaksa, hingga hakim ketika putusan, bahwa korupsi ini dilakukan di tengah kesulitan masyarakat.
Menurut Yuris, akan sampai kepada hukuman mati atau tidak, kemungkinan masih menjadi perdebatan karena dari beberapa pihak pun ada yang tidak sepakat mengenai hukuman mati.
Baca juga: KPK Akan Ikut Awasi Pengadaan Faskes dan Vaksin Covid-19
Yuris menerangkan, terkait hukuman kepada koruptor bagi kalangan pegiat anti korupsi sendiri masih terdapat perbedaan.
“Kami di Pukat lebih melihat hukuman yang efektif bagi koruptor itu dalam tanda kutip pemiskinan. Ada banyak cara, misalnya menuntut ganti rugi dari uang negara yang diambil, sebagaimana yang sudah diatur dalam UU Tipikor. Kedua adalah terkait perampasan aset koruptor, namun memang sampai saat ini hukum positifnya belum bisa dilakukan,” tuturnya.
Terkait model korupsi berupa gratifikasi, Yuris memaparkan hal ini merupakan permasalahan lama dan merupakan modus yang paling banyak dilakukan di dalam Tipikor.
“Gratifikasi dan suap itu modus yang paling sering di dalam Tipikor. Kalau terbukti seperti itu, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) lagi, artinya kebijakan-kebijakan di eksekutif belum cukup mampu menanggulangi kasus-kasus korupsi yang melibatkan perselingkuhan antara pemerintah dan swasta. Ini harus menjadi perhatian lagi bagi pemerintah untuk bisa mengupayakan kebijakan-kebijakan anti korupsi,” urainya. (Tribunjogja.com)