Yogyakarta

Terkait Kecelakaan Maut di Jalan Magelang, Begini Analisis Pengamat Otomotif

Tidak ada kendaraan yang didesain mampu menghindari tabrakan bila sampai kecepatan hingga 139 km/jam.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Tribun Jogja/ Hendy Kurniawan
Satu unit Honda Mobilio ringsek setelah mengalami laka lantas di Jalan Magelang km 8, Mlati, Sleman, Sabtu (3/10/2020) pagi. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Pada Sabtu (3/10/2020) sempat terjadi kecelakaan mobil cukup mengerikan di Jalan Magelang km 7,8, Sleman yang mengakibatkan empat pemuda meninggal dunia dan empat orang lainnya luka-luka.

Polres Sleman telah menetapkan pengemudi Honda Mobilio, WA (16) sebagai pelaku anak (tersangka).

Satu d antara temuan pihak kepolisian, WA mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, yaitu 139 km/jam.

Pada saat kejadian, Honda Mobilio yang dikendarai WA sempat oleng hingga menabrak pembatas jalan dan mobil Mitsubishi Xpander.

Baca juga: Lanjutan Kasus Kecelakaan Maut Jalan Magelang, Pengemudi Mobilio Jadi Tersangka

Tak hanya itu, Honda Mobilio tersebut kemudian melayang dan berputar di udara sejauh lebih kurang 20-30 meter.

Pengamat otomotif dari Jurusan Teknik Mesin UGM, Dr Jayan Sentanuhady, ST, Meng memberikan analisis terkait kejadian yang dialami mobil Honda Mobilio tersebut.

“Kecepatan 139 km/jam tentu berlebihan. Tidak ada kendaraan yang didesain mampu tabrak bila sampai kecepatan setinggi itu,” ujar Jayan saat dihubungi Tribunjogja.com, Jumat (6/11/2020).

Ia menjelaskan, kecepatan saat crash test (uji tabrakan) pada mobil konvensional rata-rata hanya 35 mil/jam atau sekitar 56 km/jam.

Seandainya pengendara memacu kendaraan sampai di atas 100 km/jam tidak ada mobil yang mampu menahan ringsek.

Jayan menerangkan, pada mobil yang bergerak ada gaya lift (gaya angkat) yang mana semakin cepat suatu benda bergerak dan mengambang (ada udara di bawahnya), maka gaya tersebut semakin besar dan membuat benda naik ke atas.

“Kalau mobil kan ada celahnya, pasti akan naik. Gaya lift itu berbanding dengan kecepatan, kalau kecepatan tinggi, gaya lift itu pasti akan meningkat,” ungkapnya.

Baca juga: Keluarga Sopir Mobilio yang Alami Kecelakaan di Sleman Belum Tahu Soal Penetapan Tersangka

“Kalau gaya lift meningkat, maka traksi antara roda dan aspal itu menurun drastis, sehingga mobil itu menjadi liar enggak ada pegangannya, roda itu enggak bisa menggigit di aspal. Kalau itu terjadi semakin tinggi ya semakin besar akhirnya roda depan menjadi liar. Jadi kalau sampai kecepatan segitu apalagi bukan di jalan tol ya bahaya artinya,” sambung Jayan.

Dengan kecepatan 139 km/jam, lanjutnya, tidak ada mobil yang bisa menahan gaya lift yang besar.

Kecuali jika mobil didesain sedemikian rupa sehingga memiliki downforce atau gaya ke bawah, yang biasanya ada pada mobil sport atau mobil balap. Namun, tidak pada mobil konvensional.

“Kalau orang yang sudah paham bahwa mobil itu ada gaya lift, maka menjadi takut untuk ngebut,” tambah Jayan.

Terlebih, menurutnya, jika pengemudi belum memiliki pengalaman menyetir yang mumpuni.

“Kalau terlalu kencang, enggak punya pengalaman driving ya itu parah. Jadi makanya kalau ngebut harus punya ilmunya juga. Dengan umur segitu (16 tahun) pengalaman dengan mengemudi mungkin belum banyak ya. Menyetir itu perlu banyak kombinasi antara feeling, kemampuan menganalisa, keawasan mata, banyak faktor,” tandasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved