Pakar Epidemiologi UI : Pemerintah Tak Dengarkan Ahli Soal Penggunaan Rapid Test untuk Tes Covid-19
Pakar Epidemiologi UI : Pemerintah Tak Dengarkan Ahli Soal Penggunaan Rapid Test untuk Tes Covid-19
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyindir keputusan pemerintah yang tetap menggunakan rapid test untuk pendeteksian virus corona di Indonesia.

Menurut Pandu, keputusan untuk tetap menggunakan rapid test ini karena pemerintah tidak mendengar pendapat ahli.
Padahal, banyak pihak termasuk WHO sudah memberikan saran untuk tidak menggunakannya.
"Kenapa demikian (rapid test tetap digunakan)? Karena tidak mendengar pendapat-pendapat ahli atau sains bagaimana pandemi ini dilakukan.
Pedoman ada, WHO ada, banyak konsultan-konsultan kesehatan yang di Jakarta yang bisa membantu," kata Pandu saat menghadiri rilis survei Indikator Politik Indonesia secara virtual, Kamis (20/8/2020).
Pandu mengatakan, rapid test hanya mendeteksi virus melalui antibodi.
Seseorang yang dinyatakan reaktif belum tentu positif Covid-19.
Untuk memastikan seseorang terinfeksi virus corona, orang yang sudah menjalani rapid test harus melakukan tes usap (swab test) atau PCR.
• Jumlah Pasien Virus Corona di Yogyakarta Bertambah 48 Kasus, Dominasi Karyawan Kesehatan
• Kata WHO: Eropa Tak Perlu Lockdown Lagi Atasi Covid-19
Oleh karenanya, kata Pandu, rapid test sejatinya tak efektif untuk mendeteksi Covid-19.
"Kelihatannya rapid test itu melindungi, padahal membuat masalah menjadi tertunda dan terlambat akibat kesalahan pengambilan keputusan apa yang dilakukan dalam situasi emergency dan terbatas," ujarnya.
Pandu menyebut, saat ini masyarakat sudah tahu bahwa rapid test tak akurat.
Masyarakat juga telah memahami bahwa swab test lebih efektif untuk mendeteksi virus.
Meski PCR lebih mahal dari rapid test, kata Pandu, banyak laboratorium di Indonesia yang sudah memiliki mesin PCR meskipun kapasitasnya kecil.
Menurut Pandu, sebenarnya pemerintah cukup meningkatkan kapasitas mesin tes agar dapat melakukan swab test secara massal dan meninggalkan penggunaan rapid test.
"Tinggal di-upgrade mesin yang lebih besar dan otomatis kita akan bisa mengejar tes swab, jangan lagi menggunakan rapid test," kata Pandu.
Sebelumnya, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui, rapid test tak selalu akurat dalam mendeteksi virus corona (Covid-19).
Kendati demikian, ia menilai, rapid test masih diperlukan karena keterbatasan alat tes PCR.
Rapid test digunakan hanya untuk screening awal di dalam pemeriksaan Covid-19.
"Rapid test ini digunakan hanya untuk screening, bukan untuk diagnostik. Dengan mengetes antibodi saja," kata Wiku dalam konferensi pers dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Wiku mengatakan bahwa setiap metode pemeriksaan memiliki kekurangan, termasuk alat rapid test.
Ia mengakui, alat rapid test bisa memberikan hasil false negative atau false positive.
"Situasi ini terjadi karena antibodi butuh waktu untuk diproduksi setelah gejala muncul dan hasil positif dari rapid test bisa menunjukkan infeksi lain juga," ujar dia.
Meski tak akurat, Wiku menyebut alat ini masih dibutuhkan mengingat keterbatasan kapasitas PCR test saat ini.
Pemerintah masih menggunakan alat ini untuk screening awal, terutama untuk tes yang dilakukan secara massal dan acak.
Apabila hasilnya reaktif, maka baru dilanjutkan dengan swab test.
"Rapid masih digunakan karena kita masih menghadapi keterbatasan kapasitas tes untuk PCR swab test. Di tengah situasi yang terbatas ini, kami melihat bahwa metode ini masih layak untuk digunakan," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pakar Sebut Pemerintah Tak Dengarkan Ahli dan WHO soal "Rapid Test