MA Tolak Gugatan Pembatalan Kenaikan BPJS Kesehatan, Iuran Peserta Mandiri Kelas 1 jadi Rp 150 Ribu
MA Tolak Gugatan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, Iuran Peserta Mandiri Kelas 1 jadi Rp 150 Ribu
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Gugatan uji materi yang dilayangkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) terhadap Perpres nomor 64 Tahun 2020 tentang Tarif Baru BPJS Kesehatan ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Dengan keputusan ini, iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah per 1 Juli 2020 lalu tetap berlaku.
Rinciannya yakni iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000, iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000 dan iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
"Tolak permohonan HUM (hak uji materiil)," bunyi amar putusan sebagaimana dikutip Kompas.com melalui laman resmi MA, Senin (10/8/2020).
Menurut laman resmi MA, perkara bernomor 39P/HUM/2020 tersebut diketok pada 6 Agustus 2020.
Hakim yang memutus perkara ini yaitu Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyuandi, dan Supandi.
Dihubungi melalui sambungan telepon, Kuasa Hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa membenarkan bahwa gugatan yang dimohonkan pihaknya ditolak oleh MA.
"Betul (gugatan ditolak)," kata Rusdianto kepada Kompas.com, Senin.
Rusdianto menyebut, pihaknya mengetahui putusan itu melalui laman MA.
Hingga saat ini, belum ada salinan putusan yang diterima pemohon.
Oleh karenanya, pemohon belum dapat mengetahui pertimbangan putusan hakim.
Dengan adanya putusan ini, kata Rusdianto, upaya KPCDI untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS yang kedua kali harus terhenti.
Sebab, suatu perkara judicial review yang sudah diputus oleh MA tak dapat diujikan kembali.
"Tertutup peluang kami untuk mengajukan hal-hal yang sifatnya upaya hukum lain, karena sifat Putusan MA itu orga omnes tentang judicial review ini," ujar Rusdianto.
"Maka perjuangan kami harus terhenti sampai sini," tuturnya.
Untuk diketahui, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mendaftarkan uji materi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA) pada Rabu (20/5/2020).
KPCDI menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan jilid II ini sangat tidak memiliki empati terhadap keadaan yang serba sulit bagi masyarakat saat ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya:
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
Pada akhir tahun lalu, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, Mahkamah Agung telah membatalkan kenaikan tersebut berdasarkan putusan uji materi yang diajukan oleh KPCDI.
• #MelajuBersamaGojek Bantu Jutaan UMKM untuk Go-Digital
• Yamaha Luncurkan Jupiter Z1 dengan Warna dan Striping Baru Sesuai Masukan Konsumen
• BPD DIY Dukung BPR melalui Program Apex Bank
Tanggapan KPCDI
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyayangkan putusan Mahkamah Agung ( MA) yang menolak permohonan uji materi mereka terhadap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan.
Menurut Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Hariyanto, dengan ditolaknya permohonan ini, tertutup kemungkinan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Akibatnya, banyak rakyat yang ekonominya semakin terbebani, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.
"Kami menyanyangkan putusan tersebut," kata Petrus kepada Kompas.com, Senin (10/8/2020).
"Kami harus menyatakan putusan MA tidak memperhatikan situasi rakyat yang sedang tercekik hidupnya. Akan semakin berat menjalani situasi dalam pandemi Covid-19 ini," ucap dia.
Menurut Petrus, tarif BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 masih terlalu mahal dan tak jauh beda dengan iuran yang ditetapkan dalam Perppres Nomor 75 Tahun 2019.
Padahal, Perpres 75/2019 sebelumnya telah dibatalkan MA melalui putusan uji materi yang juga dimohonkan oleh KPCDI.
Melalui putusannya saat itu, MA juga meminta BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal dan eksternal.
Namun, menurut Petrus, hal itu belum dilaksanakan.
"Jumlah iuran sangat tinggi sekali. Saya rasa tak terlalu beda Perpres 75 dan 64, sama-sama memberatkan masyarakat," ujar dia.
Secara spesifik, kenaikan tarif BPJS Kesehatan itu juga dinilai memberatkan pasien cuci darah.
Bagi pasien miskin, membayar tarif BPJS Kesehatan yang lama sebelum dinaikkan pun sudah sulit.
Padahal, pasien cuci darah sangat membutuhkan BPJS Kesehatan demi kelangsungan hidup mereka.
"Kalau orang sehat gagal bayar iuran atau telat atau kartu BPJS tidak aktif bisa menunda berobat, bahkan kalau sehat kan tidak perlu berobat," ujar Petrus.
"Kami (pasien cuci daerah), kalau kartu tidak aktif, maka tdk bisa cuci darah, atau bayar sendiri. Absen dua kali cuci darah sudah banyak bukti akhirnya pasien meninggal," ucap dia.
Dengan tertutupnya langkah hukum akibat Putusan MA ini, menurut Petrus, ke depan pihaknya bakal menagih janji Komisi IX DPR RI yang kala itu sempat berjanji untuk meminta Kementerian Sosial memasukan pasien cuci darah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) BPJS.
KPCDI juga akan menggalang dukungan dari komunitas-komunitas lain yang terdampak untuk mendorong pemerintah menerbitkan Perpres yang menurunkan iuran BPJS Kesehatan.
"Pelayanan kesehatan adalah hak, dan negara wajib memenuhi, ketentuan itu ada dalam konstitusi kita.
Negara berkewajiban menyelenggarakan satu sistem jaminan sosial," kata Petrus.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "MA Tolak Gugatan Pembatalan Kenaikan Tarif BPJS, Pemohon: Rakyat Semakin Berat
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Permohonan Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Ditolak MA