Wabah Corona
Penjelasan Ahli Epidemiologi UGM Terkait Vaksin Covid-19 Bisa disebar di 2021
Setelah itu, akan dilakukan uji coba dengan hewan model, begitu hasilnya cukup baik, proses selanjutnya tahap dua yakni materi akan diuji cobakan deng
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Para ilmuwan dunia sedang berpacu dengan waktu untuk menemukan vaksin Covid-19 yang tengah mewabah ke berbagai negara.
Mereka mulai mengembangkan tahap awal dalam pencapaian material vaksin yang benar-benar bisa untuk dimanfaatkan secara luas.
Pengembangan massal vaksin Covid-19 dinilai cara paling mungkin untuk mengendalikan virus tersebut.
Namun, organisasi kesehatan dunia atau World Healt Organization (WHO) menyebut kecil kemungkinan vaksin Covid-19 bisa diproduksi massal pada 2021 mendatang.
Infromasi yang dihimpun melalui Kompas.com, tiga perusahaan farmasi terbesar Ameriksa Serikat, Inovio, Moderna dan Pfizer saat ini sedang melakukan uji klinis tahap awal pembuatan vaksin.
• Ada 3 Tipe Virus Corona di Indonesia, Menristek Sebut Vaksin Kemungkinan Ditemukan Awal Tahun Depan
Menanggapi hal itu, ahli Epidemiologi UGM dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D mengungkapkan, dirinya sangat setuju dengan apa yang diungkapkan tim ahli WHO tersebut.
Menurutnya, pembuatan vaksin memakan waktu yang cukup lama. Ia mengatakan, untuk mendapatkan vaksin yang sesuai, peneliti harus menemukan anti gen yang bertanggung jawab dengan kekebalan tubuh seseorang.
Setelah itu, akan dilakukan uji coba dengan hewan model, begitu hasilnya cukup baik, proses selanjutnya tahap dua yakni materi akan diuji cobakan dengan manusia.
Begitu hasilnya sudah dapat diketahui, maka proses akan berlanjut ke tahap tiga atau produksi massal dan didaftarkan legalitasnya.
"Itu pun masih dalam pantauan, apakah manjur vaksin yang barus saja selesai diuji cobakan tersebut," katanya saat dihubungi Tribunjogja.com, Minggu (10/5/2020)
Lebih lanjut dirinya mengatakan, Indonesia saat ini hanya mampu membuat vaksin Hepatitis.
Untuk mengembangkan vaksin turunan dari SARS-CoV 2 ini para ilmuwan Indonesia masih belum memiliki kompetensi.
Alasannya, menurut kajian pria yang akrab disapa dr. Doni ini menganggap, vaksin Covid-19 ini benar-benar baru di Indonesia atau bahkan di dunia.
Hanya beberapa negara saja yang sudah mengenal anti gen dari Covid-19 tersebut.
• Peneliti Temukan Virus Corona dalam Sperma Pasien Covid-19, Apakah Hubungan Seks Bisa Menularkan?
Berbeda dengan hepatitis, menurutnya mode kekebalan Hepatisis mudah diketahui dan sebagian besar telah diketahui para ahli medis di Indonesia.
Karena kunci menemukan vaksin suatu penyakit, lanjut Doni, para ilmuwan harus mengetahui mode kekebalan dari sebuah virus atau penyakit tersebut.
Normalnya, pembuatan vaksin untuk tahapan satu bisa mencapai lima hingga sepuluh tahun.
Lalu, mengapa Amerika Serikat saat ini sudah mengembangkan dan berandai-andai dalam 2021 bisa diproduksi massal?
Menurut Dosen lulusan Erasmus University Rotterdam ini, para ilmuwan Amerika Serikat sudah mengakumulaai atau mengenal anti gen SARS sejak awal kali virus tersebut muncul beberapa tahun silam.
Akumulasi dari virus SARS itulah kemudian dikembangkan lebih lanjut.
"Itulah yang memudahkan ilmuwan mempercepat proses tahapan awal, kalau umumnya itu butuh proses lima sampai sepuluh tahun," tegasnya.
Lalu bagaimana mode kekebalan virus Corona sebenarnya?
Dalam hal ini, dr. Doni menjawab jika sekarang ini muncul adanya istilah reinfeksi. Diagnosis tersebut menurutnya perlu dipertimbangkan, karena bisa jadi itu merupakan reaktivasi.
Artinya virus yang diperkirakan telah mati, bisa kembali hidup dan aktif kembali menjangkiti pasien yang dinyatakan sembuh.
Fenomena itulah yang membuat mode kekebalan Covid-19 ini sulit dideteksi.
• Komunitas Vespa Klaten Aksi Bagi Masker untuk Tangkal Covid-19
"Artinya saat di test anti bodi seseorang rendah, tak terdeteksi. Lalu fase berikutnya meningkat. Ini sebuah implikasi berbeda," terang dia.
Ia melanjutkan, jika reinfeksi, artinya pencapaian mode kekebalan Covid-19 saat berada di tubuh manusia cukup rendah.
Namun, disisi lain para peneliti dilema dengan temuan reaktifasi atau reinfeksi.
Menurut dr. Doni hal itulah yang menyulitkan para ilmuwan menentukan mode kekebalan Covid-19 seperti apa.
Kecuali mereka yang sudah melalukan uji klinis dengan virus SARS.
Karena, lanjut dr. Doni, peran vaksin sendiri merupakan duplikat seseorang saat mencapai hard immunity atau puncak kekebalan seseorang terhadap suatu virus.
Bedanya jika orang mendapat vaksin, menurut dia, seseorang akan mencapai hard immunity tanpa melalui rasa sakit terlebih dahulu.
"Kalau hepatitis itu kan tidak long life, kalau campak, atau cacar itu kan sekali terkena sesorang bisa langsung mencapai hard immunity nya," tegasnya.
Kajian tersebut menurutnya sangat nyata, bahkan saking sulitnya menentukan mode kekebalan Covid-19 para ilmuwan lain menganggap jika vaksin Covid-19 itu mustahil.
Kalau pun, tim peneliti Amerika Serikat sudah bisa menemukan vaksin di tahun 2021. Tentu mereka mengutamakan negara penopang disektarnya.
"Untuk sampai ke Indonesia saya kira bisa dua tahun setelahnya, karena tergantung besaran produksinya," sambung dia.
The New Normal
Inilah fase baru kehidupan masyarakat, inilah kebiasaan baru masyarakat dan masyarakat harus berdamai dengan Covid-19.
Ungkapan itu pun menjadi penutup dr. Doni ketika menjabarkan kajian mengenai epidemiologi Covid-19.
Menurutnya, ada atau tidak adanya vaksin, masyarakat harus bisa hidup di tengah pandemi untuk mencapai hard immunity.
Menurutnya itu yang menjadi keharusan untuk merelakan kehidupan normal yang baru.
"The New Normal. Inilah kehidupan baru kita, semua masyarakat harus berdamai dengan virus ini," terang dia.
• Ada 3 Tipe Virus Corona di Indonesia, Menristek Sebut Vaksin Kemungkinan Ditemukan Awal Tahun Depan
Jika masyarakat mampu menyesuaikan di tengah pandemi dan sudah mencapai kekebalan maksimal dalam tubuh terhadap Covid-19, maka virus Corona hanya menjadi penyakit biasa dan tidak membahayakan lagi karena sudah kehabisan bahan bakar.
Lalu berapa lama seseorang dinyatakan kebal Covid-19?
dr. Doni menduga, butuh waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar kebal dengan Covid-19.
Namun, untuk menuju hard immunity masyarakat wajib berlakukan sosial distancing untuk menekan laju penyebaran virus.
Jika hal itu tidak dilakukan, mustahil akan tercapai kekebalan tubuh maksimal di masyarakat saat ini.
Karena menurutnya, dengan sosial distancing itulah manajemen populasi terhadap virus tersebut dikendalikan.
"Sosial distancing ini sebagai upaya mencapai hard immunity namun juga meminamilisir korban. Sekarang kita sudah jangan tanya lagi kapan Corona akan berakhir, inilah hidup baru yang harus kita jalani," tegas dr. Doni.
Paling ringan, dr. Doni menyebut sosial distancing diantaranya pembatasan operasioanal mall, tempat-tempat kerumunan dan lain-lain.
Jaga jarak aman kesehatan menurutnya menjadi hal paling ringan. Hingga yang paling berat menurut dia pemberlakuan lockdown.
Lalu, apakah dengan lockdwon virus bisa hilang?
• Jadi Bahan Konspirasi, Bill Gates Jelaskan Soal Vaksin Covid-19 yang Dapat Diproduksi Dalam Setahun
"Belum tentu," sela dia.
Menurutnya, lockdown hanya memutus virus untuk sementara waktu.
Setelah itu, masyarakat wajib dan harus terus berlakukan physical distancing.
Karena selain mode kekebalan Covid-19 yang sulit ditentukan, pola hidup menjaga jarak aman terus dilakukan karena satu-satunya memanajemen populasi virus tersebut satu-satunya cara hanya dengan soscial distancing atau physical distancing. (TRIBUNJOGJA.COM)