Dari Ethiopia Hingga Konstantinopel, Inilah 5 Wabah Paling Mematikan di Dunia

Setidaknya ada lima pandemi atau wabah paling mematikan yang pernah tercatat dalam sejarah modern. Dari wabah Konstantinopel hingga wabah di Ethiopa

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
IST
Ilustrasi peristiwa Black Death yang diabadikan lewat lukisan 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Planet bumi usianya sudah sangat tua. Peradaban baru setelah masa purba berakhir, berkembang sangat pesat, penduduk makin banyak, diikuti penularan aneka penyakit.

Manusia hidup berdekatan satu sama lain, dan juga dengan hewan. Seringkali sanitasi dan nutrisi buruk, menyediakan tempat subur bagi bakteri, kuman, dan virus.

Munculnya perdagangan luar negeri mempercepat penyebaran bibit penyakit ke segala penjuru dunia melalui kapal-kapal yang menjelajah lautan.

Black Death, Petaka Kematian Massal Paling Mengerikan di Dunia
Black Death, Petaka Kematian Massal Paling Mengerikan di Dunia (net)

History.com, yang merupakan situs History Channel, memaparkan lima pandemi global terburuk yang dicatat dalam sejarah modern.

Lantas, bagaimana pandemik terburuk itu akhirnya terhenti?

1. Wabah Justinian di Konstantinopel

Tiga pandemi paling mematikan dalam sejarah dunia yang tercatat disebabkan bakteri tunggal, Yersinia pestis. Bakteri ini menyebabkan infeksi fatal yang dikenal sebagai wabah pes.

Disebut wabah Justinian karena terjadinya di Konstantinopel, ibukota imperium Byzantium, atau Romawi timur. Konstantinopel kini bernama Istanbul setelah direbut kekaisaran Ottoman pada 1453.

Justinianus adalah kaisar Byzantium yang ternama, seorang pembangun yang hebat. Kota yang dipimpinnya didirikan Konstantin, pendahulunya.

Wabah ini juga kerap disebut tulah Justinianus. Monster itu tiba di Konstantinopel pada 541 Masehi. Diduga berasal dari Mesir, ikut bersama kapal-kapal dagang yang berlabuh di Selat Bosphorus.

Mesir saat itu baru saja ditaklukkan Justinian, dan harus membayar upeti. Kutu di tubuh tikus hitam yang terbawa dari Mesir, membawa bakteri pes.

Tulah itu menghancurkan Konstantinopel, menyebar seperti api ke seluruh Eropa, Asia, Afrika Utara, dan jazirah Arab.
Menewaskan sekitar 30 hingga 50 juta orang, mungkin setengah dari populasi dunia saat itu.

"Orang-orang tidak memiliki pemahaman yang nyata tentang bagaimana melawannya selain mencoba menghindari orang sakit," kata Thomas Mockaitis, profesor sejarah di Universitas DePaul.

"Mengenai bagaimana wabah itu berakhir, tebakan terbaik adalah sebagian besar orang dalam pandemic, entah bagaimana bertahan hidup, dan mereka yang selamat akhirnya kebal,” kata Mockaitis.

2. Black Death atau Wabah Kematian Hitam

Tulah atau wabah tidak pernah benar-benar hilang, dan ketika kembali 800 tahun kemudian, wabah itu mencabuti nyawa orang begitu saja.

Kematian Hitam, yang melanda Eropa pada 1347, merenggut 200 juta nyawa. Ini terjadi hanya dalam tempo empat tahun.

Wabah ini secara tidak sengaja memunculkan ide karantina, yang masih sangat relevan hingga hari ini ketika muncul petaka massal akibat penyakit.

Saat itu, orang belum tahu bagaimana cara menghentikan penyakit ini. Tapi menurut Thomas Mockaitis, sebagian masyarakat berpikiran penyebaran penyakit itu terkait kedekatan fisik.

Itulah sebabnya pejabat yang berpikiran maju di kota pelabuhan Ragusa yang dikuasai Venesia memutuskan mengawasi pelaut yang baru tiba, mengisolasinya sampai mereka dapat membuktikan tidak sakit.

Pada awalnya, para pelaut ditahan di kapal mereka selama 30 hari, yang kemudian dikenal dalam hukum Venesia sebagai trentino.

Seiring berjalannya waktu, Venesia meningkatkan isolasi paksa menjadi 40 hari. Trentino inilah yang melahirkan istilah karantina (quarantine).

Isolasi inilah yang diyakini mampu menghentikan penyebaran bakteri pes yang menyulut black death. "Itu pasti berpengaruh," kata Mockaitis.

3. Wabah Besar London

London tidak pernah benar-benar jeda setelah wabah black death yang menyapu Eropa. Tulah muncul kembali kira-kira setiap 20 tahun dari 1348 hingga 1665—40 wabah dalam 300 tahun.

Setiap wabah wabah baru, 20 persen pria, wanita dan anak-anak yang tinggal di ibukota Inggris terbunuh.

Pada awal 1500-an, Inggris memberlakukan hukum pertama untuk memisahkan dan mengisolasi orang sakit.

Rumah-rumah yang dilanda wabah ditandai tumpukan jerami yang digantung di sebuah tiang di luar.

Jika Anda memiliki anggota keluarga yang terinfeksi, Anda harus membawa tiang putih ketika Anda pergi ke tempat umum.

Kucing dan anjing diyakini mengidap penyakit itu, jadi ada pembantaian besar-besaran atas ratusan ribu hewan.

Wabah besar 1665 adalah yang terakhir dan salah satu wabah terburuk selama berabad-abad, menewaskan 100.000 warga London hanya dalam tujuh bulan.

Semua hiburan publik dilarang dan para korban secara paksa ditutup ke rumah mereka untuk mencegah penyebaran penyakit.
Salib merah dicat di pintu mereka bersama dengan permohonan pengampunan, "Tuhan, kasihanilah kami."

Mereka yang mati dikubur secara massal. Isolasi itulah yang menyebabkan pandemic terburuk di London itu akhirnya berakhir.

4. Wabah Cacar

Wabah cacar yang endemik di Eropa, akhirnya menyerang ke luar setelah para penjelajah Eropa tiba di Amerika. Selama berabad-abad cacar menewaskan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi.

Wabah ini meninggalkan bekas luka bopeng pada wajah dan tubuh penderitanya. Di negara asalnya, cacar sudah berkurang jumlahnya.

Tapi ketika muncul di dunia baru yang dijelajahi para pelaut Eropa, penyakit ini menjadi wabah sangat mematikan.

Masyarakat pribumi benua Amerika jadi korban paling mengenaskan. Populasinya berkurang puluhan juta orang ketika penyakit itu menjangkiti semua orang.

Tidak ada pembunuhan dalam sejarah manusia mampu menyamai apa yang terjadi di Amerika.

“Antara 90 hingga 95 persen populasi pribumi Amerika musnah,” kata Mockaitis.

"Meksiko berubah dari 11 juta orang sebelum penaklukan, menjadi tinggal satu juta orang saja," imbuhnya.

Berabad-abad kemudian, cacar menjadi epidemi virus pertama yang akhirnya berakhir lewat vaksinasi.’

Pada akhir abad ke-18, seorang dokter Inggris bernama Edward Jenner menemukan para pekerja peternakan sapi perah tampaknya kebal terhadap cacar.

Jenner menginokulasi putra tukang kebunnya yang berusia 9 tahun dengan cacar sapi, dan kemudian memaparkannya pada virus cacar tanpa efek buruk.

“Menghilangkan cacar, momok paling mengerikan dari spesies manusia, jadi hasil akhir dari eksperimen ini,” tulis Jenner pada 1801.

Dan dia benar. Butuh hampir dua abad lagi, tetapi pada 1980, Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan, cacar telah sepenuhnya diberantas dari muka bumi.

5. Wabah Kolera

Pada awal hingga pertengahan abad ke-19, kolera merobek-robek Inggris, menewaskan puluhan ribu orang.

Teori ilmiah yang berlaku saat itu mengatakan penyakit itu disebarkan melalui udara busuk yang dikenal sebagai "miasma."

Tetapi seorang dokter Inggris bernama John Snow curiga, penyakit misterius itu, yang menewaskan para korbannya dalam beberapa hari setelah gejala pertama, ada di air minum yang dikonsumsi warga London.

Snow lalu bertindak seperti Sherlock Holmes, menyelidiki catatan rumah sakit dan laporan kamar mayat untuk melacak lokasi yang tepat asal usul wabah mematikan.

Dia membuat grafik geografis kematian kolera selama 10 hari dan menemukan sekelompok 500 infeksi fatal di sekitar pompa air Broad Street, yang populer bagi warga yang ingin minum.

“Segera setelah saya mengenali situasi dan tingkat gangguan kolera ini, saya mencurigai kontaminasi air pompa yang sering dikunjungi warga di Broad Street,” tulis Snow.

Dengan usaha keras, Snow meyakinkan para pejabat setempat untuk melepaskan gagang pompa di Broad Street, menggantinya dengan sumber air minum yang lebih baik.

Pompa itu akhirnya tak bisa digunakan. Seperti sulap, infeksi yang membunuh itu akhirnya perlahan mereda.

Snow tidak menyembuhkan kolera dalam semalam, tetapi akhirnya menyebabkan upaya global untuk meningkatkan kualitas sanitasi perkotaan dan melindungi sumber air minum dari kontaminasi.

Sementara kolera sebagian besar telah diberantas di negara-negara maju, penyakit ini masih jadi pembunuh di negara-negara dunia ketiga.

Selain lima pandemik global yang merenggut jutaan nyawa, jauh sebelum Masehi, sekurangnya ada tiga pagebluk yang juga mematikan.

Pandemi paling awal yang tercatat dalam sejarah terjadi selama Perang Peloponnesia, 430 Sebelum Masehi.

Setelah penyakit itu melewati Libya, Ethiopia dan Mesir, tulah misterius itu melintasi tembok Athena ketika pasukan Sparta mengepung. Sebanyak dua pertiga dari populasi di Athena meninggal.

Gejalanya meliputi demam, haus, tenggorokan dan lidah berdarah, kulit merah dan lesi.

Penyakit, diduga demam tifoid, melemahkan Athena secara signifikan dan merupakan faktor signifikan kekalahan mereka oleh Spartan.

Lalu pada 165 Masehi, muncul pagebluk yang dikenal sebagai wabah Antonine. Ini mungkin penyakit cacar tingkat awal yang dimulai dari orang Hun.

Orang Hun kemudian menginfeksi Jerman, yang menyerahkannya kepada orang Romawi dan kemudian pasukan yang kembali menyebarkannya ke seluruh kekaisaran Romawi.

Gejala termasuk demam, sakit tenggorokan, diare dan, jika pasien hidup cukup lama, luka bernanah. Tulah ini berlanjut hingga sekitar tahun 180 Masehi.

Konon Kaisar Marcus Aurelius termasuk korban wabah ini. Selanjutnya 250 Masehi, muncul wabah Cyprian.

Namanya diambil dari nama korban pertama yang diketahui sebagai Uskup Kristen Kartago. Wabah Cyprianus menyebabkan diare, muntah, radang tenggorokan, demam, dan tangan dan kaki yang kasar.

Penduduk kota melarikan diri ke negara itu untuk menghindari infeksi tetapi malah menyebarkan penyakit lebih lanjut.

Mungkin wabah ini dimulai di Ethiopia, melewati Afrika Utara, ke Roma, lalu ke Mesir dan ke utara. Wabah berulang selama tiga abad berikutnya.

Pada 444 Masehi menghantam Inggris dan menghalangi upaya pertahanan mereka atas serangan Picts dan Skotlandia.

Inggris akhirnya mencari bantuan Saxon, yang akan segera menguasai pulau itu.(Tribunjogja.com/History.com/xna)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved