Kisah Seniman Difabel yang Setia Tekuni Kerajinan Barongsai di Kota Magelang
Salah satu perajin yang masih setia menekuni kerajinan khas Imlek, Barongsai yang masih tersisa di Kota Magelang adalah Sandi Ironi (64).
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Salah satu perajin yang masih setia menekuni kerajinan khas Imlek, Barongsai yang masih tersisa di Kota Magelang adalah Sandi Ironi (64).
Sejak usia 10 tahun, ia belajar sekaligus membantu kakeknya membuat kerajinan Barongsai di bengkelnya di Jalan Daha 36, Kota Magelang.
Kerajinan Barongsai yang ditekuninya sejak tahun 1964, kini telah mencapai generasi ketiga, setelah kakeknya, orangtuanya, dan kini diwariskan kepada dirinya.
"Kalau dihitung dari nalar, sejak umur 10 tahun, pada tahun 1964, mbah saya memberikan pelajaran kerajinan Barongsai ini. Saya mulai ketika saya umur 6 tahun. Jadi 5 tahun digendong-gendong sambil mengerjakan ini. Nah ini, saya teruskan jadi umur segitu saya teruskan sampai sekarang, tanpa ada bosan," tutur Sandi, Kamis (16/1/2020) saat ditemui di bengkel kerajinannya.
Sandi bercerita tentang kerajinan Barongsai yang sudah ditekuninya selama 56 tahun.
Kakeknya bernama Cho Dowan. Cho Dowan adalah seorang seniman dan dalang Wayang Potehi yang terkenal di Semarang.
Dari kakeknya lah, ia belajar membuat kerajinan Barongsai dan belajar kesenian yang lain seperti Tambur Barongsai, Tambur Wayang Potehi, hingga Boneka Kantong.
Bengkel kerajinan tempat Sandi bekerja adalah bengkel yang sama sejak kerajinan Barongsai ini dirintis oleh kakenya pada tahun 1950-an dulu yakni, di Jalan Daha36, Kota Magelang.
Bengkel itu sekaligus rumah kakeknya. Tempat berkumpul dan bertukar ilmu para seniman Barongsai dan seniman-seniman lain.
"Cho Dowan, kakek saya, adalah seorang seniman, dalang wayang potehi yang sangat terkenal di Semarang. Saya lahir tahun 1956 itu mulai dimong sama beliau, kemudian diajarkan ini. Mbah saya rumahnya sini, tapi dulu belum seperti ini. Kami bangun dan jadikan hall untuk pertemuan para seniman barongsai maupun seniman-seniman lain, untuk berkumpul atau bertukar ilmu," kata Sandi.
Barongsai yang dibikin oleh Sandi bentuknya khas karena sesuai pakem. Pakem dari bentuk singa yang hidup sesuai perbandingan antara ukuran mata, kemiringan, jumlah alis, kening, dan hidung.
Bahkan bukaan mulut pun dihitung agar pemain Barongsai tetap dapat melihat dengan leluasa melalui sudut pandangnya, sehingga akan mencegah kecelakaan dalam bermain.
• Warga Keturunan Tionghoa di Yogyakarta Awali Tahun Baru Imlek dengan Berdoa
Membuat Barongsai sesuai pakem pun tak sembarangan. Ritual dilakukan Sandi agar mendapatkan ilham bentuk Barongsai dan naganya.
Ia melakukan sembahyang, menjadi vegetarian untuk membersihkan diri. Saat roh datang, ia mengambil ilham, menyimpannya dalam alam pikirannya.
"Ilham itu akan berada di pikiran kami selama sekian menit. Setelah hafal bentuknya, saya masukan di dalam alam pikiran saya, kami pun mulai membentuk. Nanti hidungnya begini, matanya begini, sesuai pakem. Pakem artinya luwes sesuai dengan standar. Setelah selesai, kami nanti akan mengucapkan terima kasih dari pengilhaman itu," katanya.
Pemesan kerajinan Barongsai Sandi sendiri datang dari berbagai daerah. Dari Semarang, Tegal, Pekalongan, Bogor, Jakarta dan daerah lain.
Sandi juga melayani tim Barongsai yang ingin membuat Barongsai. Harga jual Barongsai jika dilihat dari harga jual pasaran dari Rp3 juta sampai Rp15 juta. Harga tergantung mutu dengan bahan-bahannya.
Namun di antara berbagai momen dalam hidupnya, ada satu momen saat Sandi mengalami kejatuhan. Momen yang menjadi kisah sedih, tetapi juga kebangkitannya.
Sakit menimpa dirinya 10 tahun yang lalu. Kaki kanannya harus diamputasi karena penyakit penyumbatan pembuluh darah. Kakinya mengalami masalah Kardiovaskuler,dimana darahnya tak dapat mengalir sampai kaki.
Namun, meski kini dirinya menjadi penyandang disabilitas, Sandi tak pernah merasa putus asa, malah ia lebih rajin membuat Barongsai.
Semangatnya terus menyala. Ia memahami hidup seperti Falsafah Barongsai, ssebesar kecintaannya akan kerajinan Barongsai, sebesar itulah kecintaannya terhadap hidup.
"Keadaan saya sekarang tidak menghambat sama sekali. Saya malah lebih rajin. Menjadi penyandang cacat, tak membuat saya drop, tapi semakin menyala kekuatannya. Hidup akan menjadi sangat mudah melalui falsafah Barongsai. Kalau orang sudah mengerti tentang falsafah barongsai, hidup itu dalam bentuk apapun mudah dan bisa diatasi. Walaupun nanti zaman sekian ratus atau sekian puluh tahun kedepan jadi elektronikpun nanti kita bisa tetap mengikuti," tutur Sandi.
Saat ini Sandi masih terus menekuni Kerajinan Barongsai di bengkel kerjanya. Istrinya, Yuko setia menemaninya. Ia juga memiliki empat orang anak. Meski tak ada satu pun yang meneruskan kerajinan ini, Sandi sendiri yang tetap terus bekerja membuat Barongsai.
"Saya memiliki putra empat. Mereka semua bekerja sebagai karyawan perusahaan. Meski demikian, saya sendiri masih akan terus membuat Barongsai ini," katanya.(Tribunjogja/Rendika Ferri Kurniawan)