Membentuk Karakter Anak Lewat Sisi Positif Idola Sang Buah Hati
Membentuk Karakter Anak Lewat Sisi Positif Idola Sang Buah Hati Membentuk Karakter Anak Lewat Sisi Positif Idola Sang Buah Hati
Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kemudahan mengakses beragam informasi saat ini membawa dampak yang cukup signifikan terhadap tumbuh kembang anak.
Bila dua puluh tahun silam anak anak memiliki keterbatasan memperoleh tayangan hiburan, dan mungkin hanya melalui televisi, tidak saat ini.
Anak anak generasi saat ini dimanjakan dengan banyaknya media yang dengan mudah memberikan informasi, tayangan berupa hiburan kepada anak anak.
Tayangan tayangan ini pun melahirkan idola-idola baru bagi anak yang kemudian secara sadar maupun tidak dijadikan rule model bagi anak tersebut.
Hal ini dialami hampir sebagian besar anak yang memiliki kemudahan akses melihat tayangan hiburan berbagai macam konten melalui dunia maya.
Fani, perempuan satu anak yang bergelut di bidang entertainment ini mengamininya.
Anak perempuan semata wayangnya yang berumur 9 tahun keranjingan para personel sebuah boyband asal Korea dan secara tak sadar sudah menjadikan idola baru.
• Makna di Balik Nama Kiano Tiger Wong, Anak Baim Wong dan Paula Verhoeven
• Mengenal Karina Rima Melati, Dosen yang Aktif di Gerakan Pemberdayaan Perempuan
Hal ini disadari Fani memiliki dua dampak yang sudah dialami anaknya.
Pertama, dampak kurang baiknya adalah anak hafal hampir seluruh lagu yang boyband tersebut nyanyikan padahal memiliki konten dewasa.
Kedua, anak mulai memaknai tampilan boyband tersebut menjadi paling keren untuk mewakili penampilan laki-laki.
Di satu sisi, ada dampak positif yang ia rasakan, pertama anaknya memiliki ketertarikan di dunia olah tubuh dengan belajar dance.
Kedua, si anak menjadi tertarik belajar bahasa asing yang menjadi bahasa dalam lagu lagu boyband tersebut.
Untuk mengimbangi dampak yang ia rasa kurang baik, Fani selalu mengajak diskusi anaknya dengan tujuan agar anak juga mulai memahami bahwa sosok yang ia idolakan tersebut juga manusia biasa yang tak lepas dari kekurangan.
"Kalau pas di jalan ada poster boyband atau kebetulan ada salah satu penampakan personelnya, langsung teriak histeris dan itu cukup mengagetkan bagi aku.
Dulu aku juga pernah punya idola cilik, tapi mungkin perkembangan teknologi informasi ngga seperti sekarang. Yang mengkhawatirkan adalah anak anak mengikuti jejak di media sosial apapun yang dilakukan idolanya tersebut," ungkap Fani.
Senada diungkapkan Dewi Kumala, perempuan yang berkecimpung di dunia properti ini memiliki tiga orang anak.
Dua anaknya perempuan masing-masing berumur 6 dan 8 tahun. Keduanya sama sama memiliki idola boyband dan girlband asal Negeri Ginseng.
Hampir semua pernak pernik sekolah kedua anaknya tersebut minta yang bergambar atau bermotif idolanya.
Awalnya Dewi menganggap perilaku anaknya mengidolakan seseorang adalah hal yang wajar karena ia juga melihat anak lain sebayanya melakukan hal sama.
Hanya saja setelah ia perhatikan, ada dampak kurang baik ketika anak memiliki idola yang belum sesuai umur mereka. Terutama Dewi menyoroti soal konten dewasa yang dibawa olah idola anaknya.
"Pernah di kamar pada dandan dan di depan cermin memakai baju yang dibikin serupa dengan kostum yang dipakai oleh idola anak anak.
Di satu sisi jujur terhibur tapi saya sadar, ini kurang baik dan saya beri pemahaman pada anak agar tidak meniru sesuatu karena masih belum cukup umur," ungkap Dewi.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Andriani. Anak-anak sudah sewajarnya memiliki sosok sebagai idola.
Peran penting orang tua lah yang kemudian dituntut lebih aktif sehingga bisa memberi arahan yang baik agar anak bisa mengambil pelajaran positif dan meninggalkan yang negatif.
"Waktu kecil kita juga pernah punya idola. Hanya saja akses informasi waktu itu masih terbatas, jadi pilihan yang menjadi idola kita juga terbatas.
Sekarang aksesnya mudah, pilihan memberikan informasi dan hiburan pada anak banyak sekali, hal positif yang memotivasi anak juga banyak, jadi apa yang diidolakan anak akan sangat ditentukan oleh peran orang tua nya," kata perempuan yang menekuni dunia broadcasting ini.
Idola Bisa Membentuk Karakter Anak
Lucia Peppy Novianti, M. Psi., Psikolog, psikolog yang aktif di dunia parenting dan founder Wiloka Workshop ini menuturkan, anak memiliki idola itu hal yang positif. Apakah itu tokoh kartun ataukah tokoh nyata.
Dengan memiliki idola sebetulnya akan membentuk karakter anak.
Kuncinya adalah bagaimana karakter si idola ini apaka memberi dampak positif atau negatif bagi anak. Soal idola anak anak ternyata adalah sosok orang dewasa, sebetulnya tidak masalah asal merupakan karakter yang positf.
"Jadi yang lebih perlu diperhatikan orang tua adalah mengetahui apa sih yang diidolakan anak. Jangan sampai hanya karena ketampanan atau kecantikan, apalagi misal mengidolakan karena jagoan yang arogan," terang Peppy.
Lanjut Peppy, orang tua sebaiknya mengajak anak mengenali sisi positif pada tokoh idolanya, kemudian bisa mengajak anak berdialog bagaimana supaya anak juga dapat memiliki karakter positif tersebut.
"Sepanjang orang tua selalu aktif mendampingi dan siap berdiskusi dengan si anak. Anak akan senantiasa memahami bahwa sosok yang ia idolakan tersebut apakah bisa ia terima atau tidak," imbuh Peppy.(Tribunjogja/Yudha Kristiawan)