Perbandingan Embung Nglanggeran Sebelum dan Sesudah Kering Kerontang di Musim Kemarau Ini
Embung Nglanggeran yang berada di Kecamatan Patuk, Gunung Kidul mengering. Kondisi ini terjadi akibat dari musim kemarau yang berkepanjangan.
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
Embung Nglanggeran Kering Kerontang
Embung Nglanggeran yang berada di Kecamatan Patuk, Gunung Kidul mengering. Kondisi ini terjadi akibat dari musim kemarau yang berkepanjangan.
Seorang pengelola wisata Embung Nglanggeran, Aris Triyono mengatakan bahwa debit air di Embung Nglanggeran ini sangat tergantung dari air hujan, lantaran termasuk ke dalam tadah hujan.

"Air mulai berkurang sejak bulan April, kondisi embung kering sejak dua bulan terakhir," ucapnya saat ditemui 9 Oktober 2019 kemarin.
Ia mengatakan, dalam rentan waktu enam tahun musim kemarau, dua tahun terakhir adalah musim kemarau yang terparah sehingga mengakibatkan air embung kering.
Lanjutnya, biasanya dalam satu tahun saat musim kemarau air embung menyisakan 1-2 meter.
"Dua tahun terakhir musim kemarau lebih panjang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ditambah lagi di sekitar embung tidak ada sumber air," katanya.
Berikut perbandingan foto Embung Nglanggeran sebelum dan sesudah kekeringan :
1. Embung Nglanggeran saat kondisi normal

2. Embung Nglanggeran kering kerontang

Perkiraan awal musim hujan di DIY
Berdasarkan data Staklim BMKG Yogyakarta, awal musim hujan di wilayah DIY diperkirakan mundur hingga 2 dasarian.
Sebagai informasi, 2 dasarian berarti menandakan awal musim hujan akan mundur selama 10 hingga 20 hari.
Hal itu akan dirasakan secara merata di seluruh DIY.
"Sedangkan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada bulan Januari - Februari 2020," jelas Kepala Staklim BMKG Yogyakarta, Reni Kraningtyas melalui pesan singkat pada Minggu (13/10/2019) lalu.
Wilayah terdampak kekeringan di DIY
Berdasarkan data pertengahan Oktober 2019 ini, secara keseluruhan, wilayah DIY yang terdampak kekeringan berada di empat kabupaten meliputi 39 kecamatan di 111 desa.
Khusus untuk lahan pertanian ada di 26 kecamatan dengan luasan 6.208,5 hektare.
Dari luasan terdampak tersebut, yang puso mencapai 2.921,5 hektare.
Dari luasan lahan puso tersebut, yang mengalami rusak berat 193,5 hektare, rusak sedang 855 hektare, dan rusak ringan 2.268,5 hektare.
Adapun untuk informasi peringatan dini kekeringan DIY yang diupdate pada tanggal 20 September lalu ada beberapa tempat yang mengalami hari tanpa hujan berturut-turut.
Untuk wilayah yang mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari yang berpotensi kekeringan terjadi di Kabupaten Bantul (Dlingo, Bantul, Pandak, Piyungan, Pajangan, Imogiri, Banguntapan, Jetis, Pleret, Kasihan, Sewon, Sanden, Bambanglipuro, Srandakan, Kretek, Pundong, Dlingo, Sedayu), Gunungkidul (Tanjungsari, Saptosari, Tepus, Paliyan, Rongkop, Girisubo, Nglipar, Wonosari, Karangmojo, Semanu, Ponjong, Ngawen, Purwosari, Patuk, Playen, Semin), Kulonprogo (Panjatan, Pengasih, Kokap, Kalibawang, Nanggulan, Girimulyo, Sentolo, Temon, Wates, Galur, Lendah), Sleman (Prambanan, Tempel, Berbah, Cangkringan, Ngemplak, Kalasan, Depok, Pakem, Moyudan, Minggir, Godean, Ngaglik, Gamping, Kalasan, Berbah).
Sementara untuk wilayah yang mengalami 31 sampai dengan 60 hari terjadi di Kabupaten Sleman (Seyegan, Gamping, Tempel, Minggir, Sleman, Mlati, Turi, Depok), Gunungkidul (Panggang, Tepus, Karangmojo), Bantul (Dlingo), Kulon Progo (Sentolo, Samigaluh).
“Kekeringan yang dimaksud adalah kekeringan meteorologis yaitu berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya, dalam jangka waktu yang panjang (bulanan, dua bulanan, tiga bulanan, dan seterusnya),” ujarnya. (*)