Kisah Mbah Sumo Ikut Padamkan Kebakaran Gunung Slamet, Dijuluki Kijang Karena Langkahnya Cepat
Mbah Sumo menceritakan jika sebenarnya dia sempat ragu apakah kuat jika mesti mendaki Gunung Slamet.
Tubuhnya kecil, pipinya tampak cekung dengan gigi yang sudah ompong. Keriput ditangan menunjukan usia yang tidak muda lagi. Benar saja usianya ternyata memang sudah menginjak 75 tahun.
.
.
DIALAH Sumodiharjo, sosok kakek tua asal Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas.
Keluarga dan masyarakat di tempat tinggalnya kerap memanggilnya 'Mbah Sumo'.
Kebakaran hutan saat ini tengah melanda Gunung Slamet.
Saat diberitahu, oleh ketua RT setempat, Mbah Sumo langsung mempersiapkan diri untuk menjadi penunjuk jalan para personil TNI, Polri, dan relawan lain.
Pada Sabtu (21/9/2019) dini hari, dia bersama dengan 31 orang dari TNI, Polri, dan relawan langsung berangkat menuju titik kebakaran.
Sampai di titik lokasi kebakaran hutan sekira pukul 05.00 WIB pagi, dia melihat kobaran api yang cukup besar.
"Ada 7 orang Kalipagu ikut memadamkan api.
Apinya sudah berkobar-kobar begitu besar, kita langsung membuat sekat bakar yang lebarnya 3 meter supaya tidak menjalar kemana-mana," kata Mbah Sumo, Rabu (25/9/2019).
Mbah Sumo menceritakan jika sebenarnya dia sempat ragu apakah kuat jika mesti mendaki Gunung Slamet.
Hal itu mengingat umurnya yang sudah tua, dan fisiknya yang juga renta.
Akan tetapi hal itu dia patahkan sendiri, karena tekad dan keikhlasan untuk membantu memadamkan kebakaran hutan Gunung Slamet.
"Saya takut karena saya orang tua apakah kuat, tetapi memang untuk motivasi personil dan relawan yang masih muda.
Saya yang tua saja semangat dan kuat, apalagi personil lain yang masih muda-muda, jadi harus lebih semangat," imbuhnya.
Bukan hanya Mbah Sumo saja yang berangkat ikut memadamkan kebakaran, kedua anaknya yaitu Sikun, Carisun, juga ikut membantu.
"Yang berangkat ada Sikun dan Tarisun, saat ini Tarisun sudah berangkat lagi, jam 4 pagi," katanya.
Saat sampai di lokasi terbakar, Mbah Sumo menceritakan jika banyak sekali rumput-rumput dan kayu kering.
"Kondisinya itu banyak sekali rumput-rumput dan kayu kering.
Maka dari itu kalau kebakaran sulit ditolong, saya waktu itu injak-injak, tetapi tetap saja, susah dipadamkan," tandasnya.
Untuk memadamkan api, Mbah Sumo menggunakan alat-alat yang dia buat sendiri.
Dia membawa alat berupa sabit atau arit, yang digunakan untuk membabat alas dan membuat sekat.
Sebagai orang yang langsung turun lapangan, Mbah Sumo menceritakan jika kondisi hutan yang terbakar benar-benar kering.
"Sampai sana pagi, pulangnya Minggu sore dan sampai di rumah jam 11 malam.
Turunnya memang lebih cepat, berbeda dengan berangkatnya yang bisa 10 jam," tambahnya.
Tidak ada gerimis sama sekali ketika sampai di lokasi kebakaran, hal itulah yang semakin menyulitkan pemadaman.
Mendaki Gunung Slamet sepertinya memang sudah biasa baginya.
Mbah Sumo sudah pernah merasakan puncak Gunung Slamet, bahkan rekan-rekannya di desa sering menyebutnya seperti 'Kijang' karena ketika mendaki cepat sekali.
Hal itu tidak heran, karena dia juga biasa bekerja sebagai penunjuk jalan, ke curug Penganten dan curug Jenggala, dekat Gunung Slamet.
Dia biasanya juga mencari burung-burung dan tanaman pakis.
Waktu naik dan ikut memadamkan kebakaran Gunung Slamet, dia hanya membawa bekal nasi rames 2 bungkus, air mineral 5 botol ukuran sedang, rokok 4 bungkus, mie instan 2 bungkus, dan 3 bungkus kopi.
Apa yang telah dikerjakan oleh Mbah Sumo dilakukan secara ikhlas tanpa imbalan apapun.
Dia hanya berharap yang terbaik untuk Gunung Slamet, dan api yang membakar hutan bisa cepat diatasi. (*)