HUT ke 74 RI
Saat Sri Sultan HB IX Berada di Garda Terdepan Revolusi yang Merontokkan Moral Pasukan Belanda
Sultan berperan besar dalam proses Revolusi Indonesia dan Republik Indonesia. Ini tak lepas dari kepribadian yang merupakan paduan tradisi dan modern
- Ibu kota pindah ke Yogyakarta
- Kondisi politik keamanan tak menentu
- Sri Sultan HB IX menyusun serangan terhadap penjajah Belanda
- Serangan itu menjatuhkan moral pasukan Belanda
- Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Bulan Februari 1949, Sultan Hamengku Buwono IX merasakan kecemasan mendalam.
Saat itu, Ibu Kota Republik Indonesia sudah tiga tahun pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta takluk di tangan penjajah Belanda.
• Asal-usul Lomba Panjat Pinang yang Khas Saat Peringatan HUT RI
Keadaan tak menentu, penderitaan rakyat semakin berat, dan semangat juang rakyat pun mengendur. Dalam situasi demikian, politik adu domba khas Belanda bisa sewaktu-waktu mengancam. Hal tersebut tak boleh terjadi.
Republik Indonesia belum habis. Belanda tak menguasai Indonesia, berbeda dengan kabar yang disiarkan oleh radio luar negeri. Demikian jalan pikiran Sultan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menggelar forum pada akhir Februari 1949.
• Kumpulan Kata-kata Mutiara Bung Karno, Cocok untuk Ucapan Dirgahayu Kemerdekaan RI
Sultan bertindak untuk menampik kabar tersebut.
Maka, ia pun bertemu komandan gerilya, Letnan Kolonel Suharto, pada 13 Februari 1949, di kompleks Keraton. Disanggupi sebuah serangan, yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret (1949).
Gerilya disiapkan menduduki Yogyakarta untuk membuktikan Republik Indonesia masih hidup. Tepat pada 1 Maret 1949, pasukan gerilya hanya butuh sembilan jam (06.00 - 15.00) melaksanakan tugas tersebut, meski sebenarnya secara efektif cuma memerlukan waktu enam jam.
• 5 Gempa Megathrust Terkuat yang Membangkitkan Tsunami Paling Mematikan di Dunia
Semangat rakyat kembali terbakar. Dunia internasional percaya, Republik Indonesia belum habis. Moral pasukan Belanda dipatahkan. Para pimpinan pasukan Belanda pun silih berganti menemui Sultan.
Dengan kewibawaan tinggi, Sultan tak menanggapi ajakan Belanda untuk bersikap kooperatif.
Belanda kewalahan, sehingga akhirnya berbalik sikap menghormati Sultan.
• Kisah Pembangunan Selokan Mataram, Siasat Sri Sultan HB IX Lindungi Warga Yogya dari Program Romusha
Lagi-lagi, moral Belanda jatuh.
Sultan pun menjadi penjaga gawang.
Tanah Air masih dalam kondisi yang tidak kondusif.
Sementara Bung Hatta, Simatupang, dan lebih dari 50 orang pemimpin Republik berada di Den Haag, Belanda, untuk berunding. Padahal, para jenderal Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda di Indonesia akan mengadakan agresi III.
Namun, tanpa perlu pertumpahan darah rakyat Indonesia, mereka urung melakukan aksi tersebut.
Pemerintah Belanda menggagalkan niat agresi III para jenderal KNIL di Indonesia. Maka kemudian, datanglah puncak keberhasilan Republik.
Penyerahan dan pengakuan kedaulatan, dengan penuh bahagia, dilakukan pada 27 Desember 1949. Sultan memimpin upacara penyerahan yang digelar di Indonesia, sedangkan Bung Hatta yang di Amsterdam, Belanda.
Betapapun, Sultan berperan besar dalam proses Revolusi Indonesia dan Republik Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari kepribadiannya yang merupakan paduan tradisional dan moderen.
Tradisional dalam hal sejarah dan tradisi, serta modern dalam pemikiran, sikap, dan perjuangan.
"Sultan akhirnya menjabat menteri pertahanan. Berbicara mengenai sosoknya, tak lepas dari peristiwa 17 Oktober 1952 (percobaan kudeta, Red). Sultan berperan besar dalam menentukan masa depan negara dan bangsa," tulis Wilopo, perdana menteri pada waktu itu.
Keberadaan Sultan dalam terbentuknya Republik Indonesia yang kondusif juga diungkapkan Thomas Kingston Critchley, yang menggantikan Richard C Kirby sebagai wakil Australia pada Komite Jasa Baik PBB tentang masalah Indonesia.
"Serangan militer Belanda di Yogyakarta telah menampilkan Sultan ke depan. Ketika Belanda menyerang Yogyakarta, saya sedang sarapan bersama Bung Hatta," ucap Critchley.
Saat bahaya mengancam Republik, Sultan pasti ada. Namun, saat bahagia ada di Republik, Sultan memilih untuk diam.
Demikian testimoni para tokoh, mulai dari Simatupang, GBPH Prabuningrat, George McT Kahin, AH Nasution, Moestopo, hingga tokoh pers nasional, Almarhum Rosihan Anwar. (Sigit Widya)