Bisnis
Perajin Eceng Gondok dan Serat Agel di Kulon Progo Raup Omzet Sampai Rp50 Juta Sebulan
Wisatawan kerap suka dan tertarik dengan keunikan produk tersebut, sehingga pasar utama merupakan luar negeri.
Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Belakangan produk kerajinan berbahan serat dan anyaman yang dijadikan berbagai macam barang fesyen dan interior rumah mulai meluas.
Di DI Yogyakarta, Kulonprogo menjadi sentra pusat kerajinan berbahan tersebut.
Puluhan perajin telah turun-temurun menghasilkan berbagai kerajinan hingga di ekspor ke berbagai negara.
Dionysius Damar adalah satu di antaranya.
Sudah beberapa tahun terakhir Dion fokus menggarap kerajinan berbahan serat agel dan anyaman eceng gondok.
• TVS Ntorq 125 Siap Mengaspal di Yogyakarta, Ini Fitur Uniknya
Usaha ini merupakan usaha keluarga yang dimulai sejak 1990 an dan kini Dion dipercaya untuk meneruskan.
"Dulu sesudah lulus SMA saya sering bantuin dan sampai sekarang meneruskan," kata Dion pada Tribunjogja.com, Sabtu (6/7/2019).
Dion menguraikan, sejak dulu wilayah Sentolo, Kulonprogo memang menjadi sentra dari bahan-bahan serat agel.
Para perajin di sana kerap memanfaatkan bahan tersebut untuk dibuat karung sebagai tempat garam.
Berganti waktu, perajin di sana kemudian beralih memanfaatkan serat agel untuk dibuat produk-produk lain seperti, tas, keranjang, lampion, interior rumah, hingga kursi.
Serat agel didapatkan dari daun pohon gebang.
Ini adalah satu dari beberapa varian pohon palem.
• Kisah Mbah Atmo Wiyono, Perajin Sekaligus Penjaga Terakhir Dolanan Tradisional Anak dari Bantul
Bahan ini kadang juga dipadukan dengan anyaman pandan dan eceng gondok sebagai bahan baku dari produk.
"Kita pasarnya memang ekspor, tapi kalau dalam negeri ada juga yang dijual sampai ke Bali dan berbagai pasar kesenian," jelas dia.
Wisatawan kerap suka dan tertarik dengan keunikan produk tersebut, sehingga pasar utama merupakan luar negeri.
Pihaknya juga kerap melayani pesanan dari pelanggan sesuai dengan keinginan dan desain sendiri.
Saat ini, Dion mengaku sudah cukup sulit untuk mendapatkan bahan baku di wilayah setempat.
Untuk serat agel, sejumlah perajin memesan dari daerah Jawa Timur.
Sedangkan eceng gondok diperoleh dari wilayah Ambarawa dan Cilacap.
"Sekarang paling bahan disini hanya cukup 20% untuk kebutuhan perajin," ujarnya
Proses pembuatan dimulai dengan meraut agel untuk memisahkan seratnya.
• Kominfo Ajak Startup Lokal Dorong UMKM Go Online
Setelah itu kemudian disambung secara manual dan digulung baru kemudian dirajut.
Jika pesanan memilih untuk diwarnai, sebelum dirajut terlebih dahulu di warnai sesuai pesanan, setelah kering baru dirajut.
Sementara untuk eceng gondok, terlebih dahulu dijemur untuk mengeringkan.
Setelah kering, kemudian proses berlanjut ke proses menganyam dan diberikan bahan anti jamur untuk memperkuat.
Dion mengaku, saat ini regenerasi dari para perajin sangat kurang.
Kebanyakan para perajin yang mengerjakan produk tersebut sudah banyak yang cukup berumur.
"Selain itu pengerjaan juga butuh ketelatenan untuk yang merajut," urainya.
• Spot Foto di Jogja, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo
Untuk rentang harga, produk tas rata-rata dihargai senilai Rp50-Rp300 ribu.
Keranjang dan lampion dihargai Rp250-Rp600 ribu dan kursi dipatok Rp1,5 juta.
"Home decoration biasanya agak mahal soalnya barangnya besar dan kesulitannya cukup banyak," ujarnya.
Pengerjaan produk juga hanya berdasarkan pesanan.
Beberapa yang dijadikan stok menurutnya hanya digunakan untuk tampilan yang akan ditunjukkan kepada pelanggan.
Dalam sebulan jika pesanan cukup banyak Dion mampu mengantongi omzet hingga Rp50 juta.
"Dalam satu tahun biasa ada empat kali yang orderan banyak," pungkas dia. (*)