Pengakuan Memilukan WNI yang Jadi Korban Sindikat Pengantin Pesanan di China
MO sempat menjalin ikatan pernikahan dengan warga negara Tiongkok selama 9 bulan dan kerap menjadi korban penganiayaan.
TRIBUNJOGJA.com - Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) asal Singkawang, Kalimantan barat menjadi korban sindikat pengantin pesanan di China.
Perempuan berinisial MO ini pun mengaku diperlakukan seperti budak.
Ia sering tidak diberikan makan berhari-hari oleh mertua ketika membuat kesalahan.
Selama di Tiongkok, MO juga ternyata dipaksa untuk bekerja tanpa henti.
"Saya dipaksa kerja cepat, enggak dikasih makan dua sampai tiga hari. Terus semua uang dipegang sama mertua saya," ujarnya saat konferensi pers di kantor LBH, Jakarta, Minggu(23/6/2019).
MO, adalah salah satu pengantin pesanan yang berhasil melarikan diri dari Tiongkok.
MO sempat menjalin ikatan pernikahan dengan warga negara Tiongkok selama 9 bulan dan kerap menjadi korban penganiayaan.
"Katanya suami (saya) kuli bangunan. Kalau 'mak comblang' nggak ngasih tahu," ujar MO.
Kisah pahit MO bermula dikenalkan oleh rekannya kepada dua lelaki asal Tiongkok di Singkawang, Kalimantan Barat.
Saat dikenalkan kepada dua lelaki pertama, ia menolak karena mengaku tidak cocok.
Selang 2 hari kemudian, ia dikenalkan kepada dua lelaki berikutnya, dan MO pun memilih salah satu lelaki untuk menjadi suaminya.
Sang 'Mak Comblang' yang menemui MO pun mengatakan bahwa ia sudah menikah dengan pria asal Tiongkok kehidupannya bakal berubah.
MO juga diberikan uang Rp 19 juta. Sebelum berangkat ke Tiongkok, MO mengadakan semacam upacara pernikahan dalam bentuk tukar cincin.
Namun, kenyataan berbeda setiba di Tiongkok, MO tidak langsung dibawa ke rumah suaminya.
Ia harus menunggu di sebuah apartemen, lalu bertemu dengan tiga orang perempuan asal Indonesia yang bermasalah dengan perizinannya.
MO pun dibawa ke kota suaminya, tapi ia mengaku tidak mengetahui nama kota tersebut.
"Saya satu malam di situ, sehabis itu saya dijemput suami, dan mertua, dibawa ke rumah mertua.
Sesampai di rumah, komunikasi dengan mereka, saya lagi datang haid, ga mau melayani suami, saya dianiaya mertua saya," ujar MO.
Tak hanya itu, MO menerima perlakuan tidak baik saat musim dingin tiba. Dia dipekerjakan tanpa mendapatkan upah.
"Saat musim dingin, saya disuruh tidur di luar tanpa bantal dan selimut. Saya dipekerjakan mertua saya, disuruh merangkai bunga, dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam. Itu upahnya nggak dikasih.
Kalau saya melawan, saya kadang-kadang nggak dikasih makan 3 sampai 5 hari," ujarnya.
MO berhasil kabur dari Tiongkok setelah dibantu oleh seorang mahasiswa asal Indonesia.
Mahasiswa asal Indonesia tersebut yang mengurus tiket dan perizinan MO untuk kembali ke Indonesia lalu melapor ke LBH Jakarta.
"Saya janjian di depan kampusnya di daerah Wuhan," ujar MO.
Perdagangan Manusia
Jaringan Buruh Migran (JBM) menyebut peristiwa yang dialami MO adalah modus dugaan tindak pidana perdagangan orang alias human trafficking.
Menurut catatan JBM 29 orang perempuan asal Indonesia yang menjadi korban.
Salah satu anggota JBM, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Maarif mengatakan, korban berasal dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat.
"Itu ada dari Kalimantan Barat dan dari Jawa Barat. Itu korbannya ada 16 orang (dari Jawa Barat). Dan ada korban dari Kalimantan Barat, 13 orang," kata Bobi.
Bobi meyakini mereka merupakan korban tindak pidana perdagangan orang. Sebab, sejumlah unsur pidananya dirasa terpenuhi, baik dari sisi proses, cara, dan tujuan.
"Unsur prosesnya ada pendaftaran, perekrutan, penampungan, pemindahan dari satu tempat ke tempat lain sampai ke keberangkatan ke luar negeri (ke China)," kata Bobi.
Kemudian dari segi cara, melalui penipuan. Menurut Bobi sindikat pelaku memberikan informasi salah ke target korban.
Misalnya, diiming-imingi bahwa calon mempelai pria di Tiongkok merupakan orang kaya, dijanjikan hidup nyaman dan terjamin hingga dijanjikan diberi uang untuk dikirim ke keluarga di Indonesia secara rutin.
"Nah kenapa berkembang? Karena perkawinan antara Chinese ini membutuhkan biaya Rp 2 miliar.
Biaya cukup mahal sehingga masyarakat di sana mencari lebih murah salah satunya mereka cari yang Indonesia. Nah, di Indonesia itu dihargai oleh agen itu Rp 400 juta," kata dia.
Uang Rp 400 juta itu, kata Bobi, dibagi-bagi untuk agen jaringan di Tiongkok dan Indonesia.
Di Indonesia pun, agen memiliki perekrut lapangan yang biasanya menyasar target korban di tingkat desa.
Alasannya, kata Bobi, perekrut lapangan mengasumsikan perempuan di tingkat desa minim literasi. Keluarga korban juga hidup sulit sehingga bisa diiming-imingi.
"(Tujuannya) untuk eksploitasi. Dari pengakuan korban, dia sampai di sana dia harus bekerja, mulai dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Lalu istirahat, dilanjutkan sampai jam 9 malam.
Akibat dari beratnya pekerjaan ini teman-teman (korban) ini menolak hubungan seks, kalau ditolak dia kena pukul dan macam-macam," kata dia.
Pekerjaan itu mencakup bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang. Kemudian melakukan pekerjaan rumah di tempat suami.
Seluruh gaji yang diperoleh korban juga dikuasai pihak suami dan keluarga.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Oky Wiratama meminta Polri dan jajarannya membongkar dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.
Oky menyinggung temuan Jaringan Buruh Migran (JBM) yang mengungkap ada 29 perempuan Indonesia menjadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan modus tersebut.
Sebanyak 13 perempuan berasal dari Kalimantan Barat dan 16 perempuan berasal dari Jawa Barat.
Adapun pelaku diduga melibatkan jaringan di Tiongkok dan Indonesia.
"Kami menyatakan, mendesak Bareskrim Mabes Polri, Polda Kalimantan Barat, Polda Jawa Barat untuk segera membongkar sindikat perekrut kasus TPPO pengantin pesanan antar negara ini," kata Oky.
"Polisi harus memproses dan menyelesaikan kasus seperti ini dengan tegas menerapkan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak," tambah Oky.
Sementara itu, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Mempawah, Mahadir menilai, perempuan yang minim literasi rentan menjadi korban kejahatan perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan.
Hal itu, kata Mahadir, berdasarkan temuan timnya di lapangan.
"Di desa-desa itu, pertama, korban yang kita temukan itu banyak direkrut oleh orang terdekat mereka.
Cara mereka ini masuk ke desa dia mencari target perempuan yang (kualitas) SDM-nya jauh, mungkin juga wawasan soal media sosialnya sedikit, jarang ya," kata Mahadir.
Mahadir menjelaskan, biasanya calon korban tidak bisa membaca dan menulis.
Selain itu, pelaku mencari korban dengan kondisi akses komunikasi yang sulit. Khususnya menyangkut akses internet.
"Ada beberapa kasus kita temukan, keluarga korbannya itu susah kita hubungi secara intens. Karena komunikasi, sinyal internet juga enggak ada di situ. Itu target mereka," ujarnya.
Selain itu, perekrut biasanya mencari korban dengan kondisi keluarga yang hidup sulit.
Misalnya, orangtua korban sakit-sakitan, dirawat di rumah sakit dan membutuhkan uang lebih.
"Jadi perekrutnya sudah melihat situasi keluarganya, mereka akan mengiming-imingi uang, segala macam. Juga ada faktor lain, ada perempuan yang memang mau pergi jauh ya. Itu dimanfaatkan juga," kata dia.(Tribun Network/gta/kps/wly)