Ramadan 2019
Ponpes Ora Aji, Rumah Bagi Yatim Piatu dan Fakir Miskin
Gus Miftah sendiri yang sempat mendapat sorotan karena dirinya kerap memberikan materi pengajian di tempat-tempat tak lazim sebagai lokasi pengajian.
Penulis: Susilo Wahid Nugroho | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM - Tak seperti hari biasanya, sore itu, Minggu (13/5/2019) suasana Pondok Pesantren Ora Aji di Purwomartani, Kalasan, Sleman terasa lebih ramai.
Ratusan santri pondok duduk bersila di depan masjid mendengarkan tausiah dari kiai dan menikmati hiburan lagu sembari menunggu waktu berbuka.
Di sudut pondok, tampak pria berambut gondrong berdiri sambil menyampaikan wejangan kepada sejumlah pemain PSS Sleman.
Pria berambut gondrong tersebut adalah Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab disapa Gus Miftah, pengasuh pondok.
Sore itu, memang sedang ada acara buka bersama yang diikuti para santri pondok bersama seluruh pemain, pelatih dan jajaran manajemen PSS.
Khusus untuk para pemain PSS, ada sesi pembekalan.
• Diboyong ke Ponpes Ora Aji, Pemain PSS Sleman Akan Dapat Pendampingan Spiritual
“Saya kasih wejangan singkat ke pemain PSS. Saya minta mereka belajar dari anak-anak yatim piatu di sini dengan melihat kondisi mereka yang seperti itu. Sementara mereka ini adalah pemain PSS yang akan bertarung di liga satu. Harapan saya, para pemain ini jadi lebih punya semangat karena kondisi lebih baik,” kata Gus Miftah.
Sedikit tak biasa memang, ketika sebuah pondok pesantren yang notabene menjadi pusat belajar ilmu agama, kebanyakan tak banyak bersentuhan dengan sebuah klub sepakbola.
Namun di Pondok Ora Aji ini justru memberikan dukungan penuh kepada salah satu tim sepakbola.
Gus Miftah sendiri menjadi pencetus ide ini.
Namun jika melongok waktu sedikit ke belakang, Pondok Pesantren Ora Aji lebih dulu membuat sejumlah orang tercengang.
Salah satunya ketika menampung orang-orang yang bersinggungan dengan dunia gelap.
Seperti Pekerja Seks Komersial (PSK) yang diterima dengan tangan terbuka oleh Gus Miftah.
• Gus Miftah Menilai Pemilu Berjalan Jujur, Adil, Demokratis dan Transparan
Atau Gus Miftah sendiri yang sempat mendapat sorotan karena dirinya kerap memberikan materi pengajian di tempat-tempat tak lazim sebagai lokasi pengajian.
Misalnya klub malam atau area prostitusi.
Namun Gus Miftah nampak tetap pada pendiriannya, untuk menyebar luaskan ilmu agama dengan caranya sendiri.

Menerima santri dari kalangan berlatar belakang kelam, bagi Gus Miftah bukan tanpa tujuan dan harapan.
Dari awal pondok ini berdiri, Gus Miftah punya harapan agar santri yang belajar di pondok bisa menjadi lebih bernilai.
‘Ora Aji’ artinya tidak berharga, yang dimaknai tidak ada satupun yang berharga di mata Allah kecuali ketakwaan.
“Mantan napi atas kasus apapun yang sudah tidak diterima di lingkungannya boleh belajar di sini. Anak-anak yatim piatu yang tidak punya orang tua dan fakir miskn kami terima dan dibimbing untuk belajar ilmu agama supaya mereka nanti lebih bernilai. Tempat tinggal, makan, minum semua gratis,” kata Gus Miftah.
• Dakwah Gus Miftah di Kelab Malam Mendapat Dukungan
Kini, setelah berdiri lebih kurang enam tahun, Pondok Pesantren Ora Aji telah memiliki 100 santri yang tinggal area pondok.
Selain itu, masih ada 120 santri dari panti asuhan yang juga dibina oleh Gus Miftah.
Santri berasal dari berbagai daerah, seperti sejumlah wilayah di Jawa sampai luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatra.
Menurut Gus Miftah, Pondok Pesantren Ora Aji memakai kurikulum berbasis kompetensi yang memungkinkan setiap santri mengeksplorasi kemampuan kompetensi yang dimiliki masing-masing.
Pihak pondok, juga menyediakan fasilitas untuk santri menyalurkan bakat, seperti peternakan, pertanian dan perikanan.
Kitab-kitab Salafi banyak diajarkan di pondok ini oleh beberapa pendamping.
Sementara khusus untuk ilmu akhlak dan budi pekerti, diajarkan secara langsung oleh Gus Miftah karena dua hal ini menjadi karakter utama santri pondok.
Gus Miftah, sangat ingin santrinya punya aklak dan budi pekerti luhur suatu saat nanti.
“Di sini, displin nomor satu. Sudah ada aturan yang harus ditaati santri. Ke depan, saya punya harapan bisa mendirikan sekolah setingkat SMK di sini. Supaya santri bisa belajar lebih baik lagi sesuai bidang yang mereka inginkan. Jadi ketika keluar dari santri sudah bisa bekerja. Jangan cuma bisa mondok tapi tidak bisa kerja,” katanya. (TRIBUNJOGJA.COM)