Ramadan

Puasa Batal Jika? Berikut hal-hal yang Membatalkan Puasa!

Ada hal yang membatalkan puasa atau perkara yang dapat membatalkan puasa. Berdasarkan kitab Fath al-Qarib yang menjelaskan hal-hal atau perkara

Editor: Yoseph Hary W
czrandy.com via serambinews
Grafis Puasa Ramadan 2019 

Puasa Batal Jika... Berikut hal-hal yang Membatalkan Puasa!

TRIBUNJOGJA.COM - Puasa batal jika melakukan hal-hal yang membatalkan puasa berikut ini. 

Ada hal yang membatalkan puasa atau perkara yang dapat membatalkan puasa. 

Hal itu ada dalam kitab Fath al-Qarib yang menjelaskan hal-hal atau perkara yang dapat membatalkan puasa tersebut. 

Sebagaimana Tribun Jogja kutip dari tribun-timur.com, memasuki bulan Ramadan 1440 Hijriyah atau 2019, umat Islam pun kini telah melakukan ibadah puasa.

Seperti apakah yang menjadi penyebab batal puasa? atau hal-hal yang membatalkan puasa?

Sebab selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, umat Islam juga dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Seperti dilansir dari NU.or.id di artikel berjudul 'Delapan Hal yang Membatalkan Puasa' yang ditulis oleh Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember.

Niat Sholat Subuh dan Doa Makan Sahur hingga Niat Salat Tarawih di Bulan Puasa Ramadhan 1440/2019

Jadwal Imsakiyah Terlengkap Bulan Ramadhan 1440 H/2019 untuk 33 Provinsi di Indonesia

Inilah artikel lengkapnya dibawah ini :  

Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa perkara yang dapat membatalkan puasa meliputi beberapa hal, antara lain:

1. Pertama, sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja.

Maksudnya, puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain) yang masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan jauf. Seperti mulut, telinga, hidung. Benda tersebut masuk ke dalam jauf dengan kesengajaan dari diri seseorang.

Lubang (jauf) ini memiliki batas awal yang ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal, tapi selama belum melewatinya maka puasa tetap sah.

Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga, yaitu bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum. 

Puasa batal ketika terdapat benda, baik itu makanan, minuman, atau benda lain yang sampai pada tenggorokan, misalnya.

Namun, tidak batal bila benda masih berada dalam mulut dan tidak ada sedikit pun bagian dari benda itu yang sampai pada tenggorokan.

Berbeda halnya ketika benda yang masuk dalam jauf seseorang yang sedang berpuasa dilakukan dalam keadaan lupa, atau sengaja tapi ia belum mengerti bahwa masuknya benda pada jauf adalah hal yang dapat membatalkan puasa.

Dalam keadaan demikian, puasa yang dilakukan seseorang tetap dihukumi sah selama benda yang masuk dalam jauf tidak dalam volume yang banyak, seperti lupa memakan makanan yang sangat banyak pada saat puasa. Maka ketika hal tersebut terjadi puasa dihukumi batal. (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 259) 

2. Kedua, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur).

Misalnya pengobatan bagi orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang sakit dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan puasa.

3. Ketiga, muntah dengan sengaja.

Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau muntah secara tiba-tiba (ghalabah) maka puasanya tetap dihukumi sah selama tidak ada sedikit pun dari muntahannya yang tertelan kembali olehnya. Jika muntahannya tertelan dengan sengaja maka puasanya dihukumi batal.

4. Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (jima’) dengan sengaja.

Bahkan, dalam konteks ini terdapat ketentuan khusus: puasa seseorang tidak hanya batal dan tapi ia juga dikenai denda (kafarat) atas perbuatannya. Denda ini adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Jika tidak mampu, ia wajib memberi makanan pokok senilai satu mud (0,6 kilogram beras atau ¾ liter beras) kepada 60 fakir miskin. Hal ini tak lain bertujuan sebagai ganti atas dosa yang ia lakukan berupa berhubungan seksual pada saat puasa.

5. Kelima, keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit.

Misalnya, mani keluar akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya hubungan seksual. Berbeda halnya ketika mani keluar karena mimpi basah (ihtilam) maka dalam keadaan demikian puasa tetap dihukumi sah.

6. Keenam, mengalami haid atau nifas pada saat puasa.

Selain dihukumi batal puasanya, orang yang mengalami haid atau nifas berkewajiban untuk mengqadha puasanya.

Dalam hal ini puasa memiliki konsekuensi yang berbeda dengan shalat dalam hal berkewajiban untuk mengqadha. Sebab dalam shalat orang yang haid atau nifas tidak diwajibkan untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan pada masa haid atau nifas.

7. Ketujuh, gila (junun) pada saat menjalankan ibadah puasa.

Ketika hal ini terjadi pada seseorang di pertengahan melaksanakan puasanya, maka puasa yang ia jalankan dihukumi batal.

8. Kedelapan, murtad pada saat puasa.

Murtad adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Misalnya orang yang sedang puasa tiba-tiba mengingkari keesaan Allah subhanahu wata’ala, atau mengingkari hukum syariat yang sudah menjadi konsensus ulama (mujma’ alaih).

Di samping batal puasanya, ia juga berkewajiban untuk segera mengucapkan syahadat serta mengqadha puasanya. 

Delapan hal diatas adalah perkara yang dapat membatalkan puasa, ketika salah satu dari delapan hal tersebut terjadi pada saat puasa, maka puasa yang dijalankan oleh seseorang menjadi batal.

Semoga ibadah puasa kita pada bulan Ramadhan kali ini diberi kelancaran dan kesempurnaan serta menjadi ibadah yang diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Amin yaa Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.

Anda juga bisa langsung mengakses di nu.or.id dengan klik disini. 

Apakah hukum tidur seharian saat puasa?

Apakah tidur saat puasa Ramadan tetap dapat pahala?

Orang bilang puasa itu menahan diri dari segala aktivitas yang membatalkan puasa Ramadan.

Menahan diri ini sepertinya lebih terasa di saat yang bersangkutan tengah berjaga dibandingkan sambil tidur.

Apa betul demikian? Apakah menahan diri sambil tidur itu masih bisa disebut menahan diri?

Kalau dihitung-hitung seperti itu, maka Allah memiliki perhitungan yang lebih luas dengan penuh rahmatnya.

Allah SWT tetap memberikan pahala bagi orang puasa sambil tidur.

Syekh Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan, 

و لا يضر النوم المستغرق للنهار على الصحيح لبقاء أهلية الخطاب معه إذ النائم يتنبه إذا نبه،ولهذا يجب قضاء الصلاة الفائتة بالنوم دون الفائتة بالإغماء

Menurut pendapat yang shahih, tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.

Menerangkan komentar gurunya, Syekh Ali Syibromalisi mengatakan dalam Hasyiyahnya alan Nihayah,

لبقاء أهلية الخطاب معه أي ويثاب على صيامه للعلة المذكورة

Redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’”, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu.

Namun tetap saja kita tidak boleh menyalahgunakan rahmat Allah yang luas itu, lalu memilih tidur seharian.

Masih lebih baik kalau kita menghidupkan siang hari itu dengan baca Al-Quran, mengaji, dzikiran, sedekah, atau aktivitas yang disunahkan lainnya.

Di samping itu, kita juga masih memiliki kewajiban lain selama puasa, yakni menjalani aktivitas keseharian kita sebagaimana biasa.

Petani berangkat ke sawah. Pegawai menuju kantor. Pelajar menuju sekolah. Pedagang menuju pasar. Puasa bukan alasan untuk tidur atau menurunkan tensi aktivitas harian.

Pasalnya kita hidup bukan sekadar untuk pahala. Itu sudah urusan Allah. Tetapi kita juga memiliki kewajiban-kewajiban di luar puasa.

Namun demikian tidur masih lebih baik daripada terjaga lalu melakukan aktivitas yang benar-benar dapat membatalkan pahala puasa seperti dusta, ghibah, menghasut, menyudutkan orang atau kelompok lain.

Atau pilihannya kita mengunci mulut saat berpuasa sambil melakukan kewajiban harian daripada tidur atau menjelek-jelekkan pihak lain. Wallahu a’lam. (Alhafiz K)

(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved