International Visitor Leadership Program

Tantangan Penerbangan Belasan Jam dari Jakarta ke Washington DC

Rute keberangkatan kami dimulai dengan maskapai Japan Airlines (JAL) yang akan membawa kami dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju ke Tokyo

Penulis: Rento Ari Nugroho | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Rento Ari Nugroho
Rombongan International Visitor Leadership Program (IVLP) dari Indonesia ketika transit di bandara internasional O'Hare di Chicago, Amerika Serikat 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Apa kesamaan Indonesia dan Amerika Serikat?

Selain sama-sama sebagai negara yang memiliki wilayah cukup luas, ternyata ada beberapa kesamaan dalam kehidupan masyarakatnya.

Hal itulah yang dijumpai Tribun Jogja ketika berkesempatan mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP) yang digelar oleh Departemen Luar Negeri (Department of State) Amerika Serikat.

Dalam program yang berlangsung selama 3 minggu mulai akhir September hingga pertengahan Oktober 2018 ini, sebanyak delapan orang dari berbagai daerah di Indonesia berkesempatan melihat secara lebih dekat kehidupan masyarakat Amerika.

Walaupun topik yang diambil bertemakan keamanan dalam perlindungan data di internet, namun banyak hal yang bisa diamati dan dipelajari dari Negeri Paman Sam; terutama tentang kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Dengan bentang wilayah yang sangat luas, tentunya masyarakat Amerika memiliki corak kehidupan yang unik, sesuai dengan kondisi wilayahnya.

Rombongan berangkat pada Sabtu 22 September 2018 dari Jakarta setelah sehari sebelumnya mendapatkan pengarahan dari Deplu AS di kantor Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Meski topik yang diambil cukup berat, namun rombongan dipesan agar tidak terlalu terbebani dengan hal tersebut.

Sebaliknya, kami diminta untuk menikmati waktu-waktu baik dalam pertemuan resmi maupun perjalanan yang diambil sendiri untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat di sana.

Baca: Penelitian Tanaman Lidah Mertua Bawa Mahasiswi UMY ke Amerika

Rute keberangkatan kami dimulai dengan maskapai Japan Airlines (JAL) yang akan membawa kami dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju ke Tokyo dalam penerbangan selama sekitar tujuh jam.

Selanjutnya, dari Tokyo, maskapai American Airlines (AA) akan membawa kami ke AS selama sekitar 11 jam.

Sebenarnya, tiket kami menggunakan American Airlines.

Namun karena tidak ada rute penerbangan maskapai dari Amerika Utara tersebut ke Indonesia, maka AA bekerjasama dengan JAL untuk membawa penumpang dari Indonesia menuju ke Amerika.

Berbeda maskapai, berbeda asal negara, berbeda pula budaya pelayanannya.

Apabila JAL kental dengan keramahan orang timur, maka AA sedikit memberi gambaran pada karakter masyarakat Amerika: disiplin, tidak banyak basa-basi dan memberikan penghormatan lebih pada privasi seseorang.

Selama tujuh jam penerbangan JAL, pramugari tidak henti-hentinya menawarkan pelayanan baik berupa makanan, minuman, maupun makanan ringan.

Tayangan yang ada di Audio Video On Demand (AVOD) di masing-masing kursi penumpang juga dijejali dengan berbagai film dan tayangan karya sineas Negeri Sakura tersebut.

Ada pula tayangan kunjungan artis Indonesia ke Jepang untuk mengenal budaya Jepang lebih dekat.

Menggunakan armada Boeing 787, penerbangan mengambil rute Jakarta terbang melintasi pulau Kalimatan, kemudian berada di atas Brunei Darusalam, Filipina, Samudra Pasifik dan berakhir di kepulauan Jepang.

Walaupun berawan, namun penerbangan tidak banyak guncangan alias turbulensi.

Penumpang banyak yang tertidur lelap, menikmati tayangan AVOD, maupun berjalan ke galley alias dapur pesawat di bagian tengah dan depan pesawat.

Dalam perjalanan panjang, berjalan untuk meregangkan otot ternyata penting.

Hal ini untuk menghindari pembengkakan otot kaki karena dampak duduk berjam-jam.

Pramugari yang sebagian besar masih muda tersebut membiarkan saja para penumpang beraktivitas di galley.

Ada yang senam ringan, berdiri saja, hingga meminta makanan atau minuman.

Mendung yang menutupi kawasan pulau Honshu menjadi ajang bagi Kapten Yokota, pilot penerbangan JAL dari jakarta tersebut untuk menunjukkan kebolehannya menghindari awan tebal pemicu turbulensi yang bisa mengganggu kenyamanan penumpang.

Bahkan ketika proses mendarat, guncangan bodi pesawat ketika menembus awan tidak terlalu kuat.

Pesawat pun mendarat mulus di Bandara Internasional Narita sekitar pukul 14.00 waktu setempat atau pukul 16 waktu Indonesia Barat.

Selisih waktu dua jam belum memberikan dampak signifikan untuk rombongan.

Matahari bersinar cerah di tengah cuaca yang berawan. Kawasan bandara nampak basah, mungkin saja karena diguyur hujan beberapa waktu sebelum kami mendarat.

Baca: Akhir Maret, Thai Lion Air Bakal Layani Penerbangan Rute Bangkok - Jepang

Turun dari pesawat, kami segera bersiap menghadapi pemeriksaan keamanan sebelum berpindah gate.

Untungnya, kami tidak perlu berpindah terminal.

Baik JAL maupun AA menggunakan terminal 2 bandara Narita. Kami hanya perlu berjalan beberapa tahap saja.

Waktu transit selama dua jam membuat sebagian anggota rombongan memanfaatkannya untuk beristirahat, menelpon keluarga menggunakan WiFi gratis bandara, hingga berjalan-jalan melihat berbagai toko yang menawarkan beragam produk.

Mulai dari makanan dan minuman, elektronik, hingga bahan bacaan.

Namun tentu saja, rombongan belum berminat belanja mengingat perjalanan masih panjang.

Koper atau tas yang berat tentu bukan sesuatu yang diinginkan karena selain akan menambah biaya, juga akan semakin merepotkan.

Sekitar pukul 17.00 waktu setempat, pihak AA mengumumkan dimulainya proses boarding.

Berbeda dari JAL dari Jakarta yang mengatur boarding berdasarkan urutan tempat duduk (Dimulai dari posisi paling belakang), AA menerapkan sistem grup.

Ada sekitar 10 grup yang boarding.

Nampaknya, grup boarding tidak didasarkan pada lokasi tempat duduk, namun lebih pada pemesanan tiket.

Hal itu terlihat dari posisi duduk rombongan IVLP yang terpencar dimana Tribun mendapat posisi duduk nyaris paling belakang, dekat galley.

Baca: Ada Pelajaran Membatik Di Sekolah-Sekolah Chicago

Posisi duduk ini ternyata sangat tidak ideal. Hal itu sangat terasa ketika nantinya mengalami turbulensi.

Pemandangan Bandara Internasional Narita di Tokyo, Jepang dari jendela pesawat Boeing 787 American Airlines di sore hari menjelang penerbangan ke Amerika.
Pemandangan Bandara Internasional Narita di Tokyo, Jepang dari jendela pesawat Boeing 787 American Airlines di sore hari menjelang penerbangan ke Amerika. (TRIBUNJOGJA.COM / Rento Ari Nugroho)

Sekitar pukul 18.00 pesawat pun lepas landas.

Namun sebelumnya, ada yang unik dari proses ini.

Para petugas di bawah, sesaat sebelum pesawat meninggalkan terminal, nampak membungkuk memberi hormat ke badan pesawat.

Pun ketika pesawat dalam proses taxing, mereka melambaikan tangannya seolah berkata "Sayonara!"

Hari mulai gelap ketika pesawat AA yang menggunakan armada Boeing 787-900 membumbung tinggi meninggalkan kawasan bandara Narita.

Berdasarkan rute yang ditampilkan di AVOD, pesawat akan mengambil rute utara melintasi tepian pantai Rusia, Alaska, kemudian membelah daratan Kanada sebelum mendarat di Bandara Internasional O'Hare di Chicago, Amerika Serikat.

Beberapa waktu setelah pesawat take off, awak pesawat mulai berkeliling memberikan pelayanan.

Dimulai dari handuk hangat beraroma jeruk nipis, makanan ringan, minuman, disusul makanan berat.

Berbeda dari awak JAL yang cekatan namun murah senyum, awak AA ini rupanya lebih mengedepankan efisiensi.

Dalam proses pembagian makanan dan minuman berlangsung cepat tanpa banyak basa-basi.

Penumpang bisa memilih satu dari dua menu yang disediakan.

Pun sesaat setelah selesai makan, awak pesawat segera mengambil peralatan makan dan sampah yang ada.

Setelah makan malam diberikan, lampu kabin diredupkan. Ini rupanya ditujukan agar penumpang bisa beristirahat.

Tribun pun mempersiapkan diri agar bisa leluasa beristirahat dengan mengeluarkan bantal leher, memakai headphone (Disediakan gratis oleh maskapai), dan selimut.

Namun baru saja mulai terlelap, turbulensi mulai menghadang ketika pesawat melintasi di tepian pantai Rusia.

Karena duduk di bagian ekor, maka guncangan terasa lebih kuat.

Hal ini berlangsung selama beberapa jam, menimbulkan tantangan tersendiri untuk tubuh yang menjerit meminta istirahat.

Terlebih kami berangkat subuh dari Jakarta karena penerbangan internasional mensyaratkan proses boarding dilakukan 3 jam sebelum jadwal keberangkatan.

Ketika pesawat sudah berada di atas Kanada, awak pesawat kembali berkeliling membagikan makanan untuk makan malam.

Namun, sebenarnya lebih tepatnya makanan yang dibagikan ini disebut makan siang.

Sebabnya, pesawat telah melintasi garis batas hari internasional di antara AS dan Rusia.

Dari jendela pesawat terlihat daratan benua Amerika menyambut kami.

Meski kami berangkat dari Narita pukul 18.00 Sabtu petang, namun pesawat mendarat di Bandara Internasional O'Hare di Chicago pada Sabtu pukul 15.40 sore.

Pesawat tiba sedikit lebih awal dari yang dijadwalkan.

Tingginya frekuensi penerbangan yang luar biasa padat langsung kami rasakan di bandara tersibuk kedua di Amerika Serikat ini.

Meski memiliki empat terminal dengan total 191 gate, namun pesawat harus mengantri selama sekitar 20 menit sebelum akhirnya mendapatkan gate di Terminal 5.

Selama proses menunggu, pesawat berbaris di jalur tunggu di darat. Andai harus berputar-putar di udara, tentu menjadi proses yang boros dan melelahkan.

Berdasarkan instruksi dari briefing di Jakarta, setelah keluar dari gate, maka akan ada petugas dari Travelers Aid International (TAI) yang membantu kami berpindah terminal.

Sebab, penerbangan domestik dilayani di luar terminal 5.

Terminal dimana kami tiba ini dikhususkan untuk penerbangan internasional.

Benar saja, tidak lama setelah keluar dari pintu pesawat dan masih di tangga garbarata, seorang perempuan ramah menyapa kami.

Dari tanda pengenal yang dipakai, nampak ia dari TAI.

Sambil membawa papan kertas bertuliskan nama-nama kami, ia memanggil kami untuk berkumpul.

Bisa jadi banyak orang berpikir, apa pentingnya dipandu kalau cuma untuk berpindah terminal?

Namun, manfaat dari para petugas ini langsung terasa ketika kami melihat antrean imigrasi yang langsung membeludak!

Baca: Bandara Adisutjipto Yogyakarta Ikut Rayakan Momen Earth Hour 2019

Bayangkan, dalam kondisi badan tak karuan karena kurang istirahat, kelelahan yang berujung kurangnya konsentrasi, menghadapi antrean yang sedemikian panjang tentu menjadi tantangan yang lumayan.

Namun dengan panduan dari petugas, kami melewati jalur khusus yang biasa dipakai kru dan awak pesawat karena kami merupakan tamu dari Deplu AS.

Pun ketika menghadapi pemeriksaan imigrasi, prosesnya tak terlalu berbelit seperti yang dibayangkan banyak orang.

Beberapa anggota rombongan memang cukup lama menghadapi berbagai pertanyaan.

Namun pertanyaan yang diajukan umumnya standar saja misalnya tujuan dan lama tinggal di AS.

Selesai menghadapi imigrasi, kami mengambil koper di bagian klaim bagasi.

Tidak seperti kebanyakan bandara di Indonesia dimana penumpang akan diperiksa kesesuaian lembar bagasi ketika keluar, di sini kami langsung bisa keluar dan check in ke AA untuk penerbangan terusan ke Washington DC.

Rute penerbangan kami adalah Soetta di Jakarta-Narita di Tokyo-O'Hare di Chicago-Ronald Reagan International Airport di Washington. 

Masih didampingi oleh petugas TAI, kami berpindah terminal menggunakan Airport Transit System.

Alat transportasi ini mirip dengan Sky Mover yang ada di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Bedanya, ATS ini berjalan tanpa masinis dan akselerasinya sangat kencang hingga diperlukan waktu sekitar 5 menit saja untuk mencapai terminal 3.

Dipandu oleh petugas TAI, kami melewati pemeriksaan keamanan yang ketat.

Laptop yang dibawa harus dikeluarkan dan tidak boleh ada cairan dalam barang bawaan.

Karenanya, petugas langsung mengambil botol air yang dibawa beberapa anggota rombongan.

Ketika melewati mesin pemindai badan, tidak boleh ada benda apapun di kantong saku baju dan celana.

Bahkan sepatu juga harus dilepas dan diletakkan dalam baki yang disediakan untuk melewati pemeriksaan sinar-X.

Nantinya, prosedur seperti ini harus kami jalani setiap kali menjalani penerbangan domestik di AS.

Sampai depan gate penerbangan kami, petugas dari TAI mengatakan agar kami terus memantau papan informasi penerbangan.

Sebabnya, sempat ada perubahan dalam penerbangan kami.

Lengah sedikit, maka kami bisa tertinggal pesawat.

Hal ini berpotensi terjadi mengingat kondisi fisik kami yang baru saja turun dari penerbangan belasan jam yang rentan tertidur dan abai pada perubahan informasi yang dipajang di papan informasi.

Untuk berjaga-jaga, petugas tersebut juga akan menginformasikan bahwa ia akan segera mendatangi kami dan memberitahu seandainya ada perubahan terminal maupun gate.

Ada waktu sekitar dua jam sebelum penerbangan ke Washington DC yang dijadwalkan pada pukul 19.00, kami pun menunggu dekat gate.

Sambil menunggu penerbangan AA, kami mengamati kondisi sekitar.

Udara dalam bandara terasa hangat, sementara di luar, sinar matahari terlihat menguning menghujani puluhan bahkan ratusan pesawat yang hilir mudik.

Sekilas, kita bisa menduga bahwa udara di luar juga hangat.

Namun, jangan salah. Dari informasi cuaca, suhu di luar berkisar di angka 16-18 derajad Celcius yang tentunya tidak 'panas' lagi!

Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, proses boarding pun dimulai.

Menggunakan sistem group boarding, penumpang pun masuk ke pesawat Boeing 737-800 yang siap membawa ke Ibukota Negara: Washington DC.

Perjalanan dengan penerbangan domestik ini berlangsung selama dua jam saja.

Namun demikian, kami tiba di Bandara Ronald Reagan National Airport sekitar pukul 22.00.

Hal ini disebabkan ada perbedaan daerah waktu sekitar 1 jam dimana Washington yang terletak di pantai timur Amerika lebih awal 1 jam dibanding Chicago.

Udara dingin menyambut rombongan ketika tiba di Washington.

Maklum saja, musim gugur sudah di depan mata dimana hawa mulai semakin dingin dan hujan sesekali turun.

Keluar dari gate, kondisi bandara yang temaram dan hawa dingin langsung menyergap kami.

Tiba di ujung tangga turun sebelum ke titik pengambilan bagasi, kami disambut dua pemandu kami, Kae Kosasih dan Ismyr Katoppo.

Merekalah yang akan memandu kami selama tiga minggu di negeri ini.

Setelah pengambilan koper (yang lagi-lagi tanpa pemeriksaan kelengkapan), kami segera keluar dan menuju ke hotel.

Istirahat sangat diperlukan karena aktivitas kami di hari-hari berikutnya sudah menunggu.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved