Bantul
Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Bantul Meningkat
Hingga menjelang akhir tahun 2018, saat ini tercatat sudah ada 195 perempuan dan anak menjadi korban kekerasan.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL- Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bumi Projotamansari semakin tinggi.
Hingga menjelang akhir tahun 2018, saat ini tercatat sudah ada 195 perempuan dan anak menjadi korban kekerasan.
Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, 2017, tercatat ada 167 korban.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinsos P3A Bantul, A Diah Setiawati SH M HUM, mengatakan kenaikan jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dikarenakan oleh sejumlah faktor.
Bisa karena jumlah kekerasan di Bantul memang mengalami peningkatan, namun bisa juga karena faktor lain.
Misalnya sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah bersama stakeholder lainnya semakin gencar.
Sehingga, membuat korban memiliki kecenderungan untuk melaporkan kekerasan yang dialami.
"Selama ini kan yang terindikasi menjadi korban pelecehan dan kekerasan banyak yang tertutup, diam, dan menganggap itu adalah aib. Padahal tidak. Sehingga kita terus lakukan sosialisasi," kata Diah, saat ditemui Tribunjogja.com di ruang kerjanya, Senin (3/12/2018).
Bersama dengan Forum Perlindungan Perempuan dan Anak, Satgas PPA, Komite Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (KKPA) dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Diah mengaku rutin menggelar sejumlah program, termasuk pelatihan dan sosialisasi.
Baca: Kekerasan Seksual Anak dengan Anak di Kota Yogyakarta Tinggi
"Target utamanya, korban tidak lagi merasa takut untuk melaporkan apabila terjadi kekerasan terhadap dirinya," terang dia.
Adapun pelatihan yang kerap kali dilakukan, dijelaskan Diah, meliputi pelatihan konselor guru BK.
Materi yang disampaikan dalam pelatihan rutin itu mengenai konseling.
Tujuannya, tidak lain, supaya guru BK di tiap-tiap sekolah bisa mengkonsling muridnya.
"Guru bisa memposisikan diri sebagai teman dan sahabat," ujar dia.
"Ketika Guru bisa menjadi teman. Harapannya, para murid bisa nyaman bercerita, keluh kesah, ataupun mengungkapkan masalah yang tengah dihadapi," imbuh dia.
Pelatihan konselor bagi guru BK sangat penting.
Mengingat kekerasan terhadap perempuan dan anak pada jenjang usia sekolah masih relatif tinggi.
Dari 195 anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan, sebagian di antaranya pada lintas jenjang sekolah.
Korban sekolah dasar sebanyak 34 anak, sekolah menengah pertama 64 anak dan ada juga sekolah lanjutan tingkat atas, sebanyak 15 anak.
Baca: Kekerasan Psikis pada Anak Bisa Berdampak Buruk
Sementara, kekerasan yang menyasar pada usia anak 0-13 tahun tercatat ada 75 anak, terdiri dari laki-laki sebanyak 31 anak dan perempuan, ada 44 anak.
Untuk kategori usia remaja tahap kedua, kisaran umur 24 tahun, yang menjadi korban kekerasan, mencapai 19 remaja, terdiri dari 17 perempuan dan 2 laki-laki.
"Jangan dikira hanya perempuan saja yang menjadi korban. Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan," terang dia.
Kekerasan yang dialami oleh korban jenisnya bermacam-macam, dari mulai kekerasan fisik, pelecehan, pencabulan hingga pemerkosaan.
Dihubungi terpisah, Program Development Officer di Rifka Annisa, Defirentia One, berpendapat naiknya jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan di kabupaten Bantul bisa diartikan kesadaran korban untuk melapor sudah relatif tinggi, sehingga kasus-kasus kekerasan bisa segera ditangani dan korban mendapatkan perlindungan serta pemulihan.
Namun demikian, ia menggaris bawahi bahwa tingginya kesadaran korban untuk melapor harus pula dibarengi dengan penindakan hukuman secara tegas kepada para pelaku.
"Ini penting untuk memberikan efek jera dan agar kasus tidak berulang," tuturnya.
Defirentia berpendapat, banyaknya laporan kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak selalu mencerminkan jumlah kasus yang sebenarnya.
Baca: Ada 195 Perempuan dan Anak di Bantul Jadi Korban Kekerasan
Ibarat fenomena gunung es, sebagian masyarakat masih menutup-tutupi kasus kekerasan dan bahkan tidak peduli pada korban.
"Ini yang membuat korban-korban tidak cukup berani melaporkan kekerasan yang dialaminya," kata dia.
Seperti misalnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kata Defirentia, sebagian warga masih menganggap itu urusan private atau pribadi.
Konflik suami istri memang urusan private, tetapi ketika di dalamnya sudah ada kekerasan dan penganiayaan, maka itu menjadi urusan masyarakat.
"Korban harus melapor untuk mendapatkan perlindungan," terangnya.
Baca: Bilang Preet dan Beri Pantat ke Bawaslu, Anggota DPRD Gunungkidul Dilaporkan ke Polda
Sebab itu, upaya penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan perlu keterlibatan dari semua pihak.
Meliputi peran aktif warga masyarakat, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
"Mereka harus saling bekerjasama untuk mensosialisasikan, penanganan dan pendampingan kepada para korban," tutur dia. (*)