Jawa
Merawat Menoreh, Merawat 'Ibu Bumi' yang sedang Merana
Namun sekarang bukit tersebut kini merana, dan tergerus oleh aktivitas penebangan pohon, hutan tanaman industri, dan pertambangan batu marmer.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Kawasan perbukitan Menoreh tak lagi sehijau dahulu.
Perbukitan yang membentang di tiga wilayah Magelang, Purworejo dan Kulonprogo itu dulu ditumbuhi oleh berbagai jenis flora, termasuk satwa-satwa yang hidup dan berhabitat di sana.
Namun sekarang bukit tersebut kini merana, dan tergerus oleh aktivitas penebangan pohon, hutan tanaman industri, dan pertambangan batu marmer.
Ekosistem yang ada di sana terganggu. Pohon-pohon gundul.
Satwa-satwa yang menghuni di sana tak tampak lagi. Sumber air menghilang. Bencana kekeringan dan longsor senantiasa mengintai.
"Kondisi sekarang banyak mengalami perubahan jika dibandingkan bukit Menoreh sekitar 10-20 tahun silam. Dahulu, tempat kami tidak mengenal kekeringan, tidak mengenal longsor, tetapi beralinya fungsi lahan, daerah perbukitan banyak pohon konservasi sekarang menjadi pohon industri. Bukit-bukit ditambangi untuk penambangan marmer," ujar Soim, warga Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Selasa (27/11/2018).
Baca: Menikmati Keindahan Sermo, Waduk di Antara Perbukitan Menoreh
Bukan hanya soal alih fungsi lahan saja, tetapi juga masalah lain yang tak kalah pelik.
Seperti aktivitas penambangan yang masih terus dilakukan di sejumlah lokasi di lereng Bukit Menoreh.
Aktivitas penambangan batu marmer itu dinilai merusak ekologi yang ada di sana.
Lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air, kini tergerus, ditambangi bebatuannya.
Pohon-pohon yang merindangi kawasan itu pun juga dihilangkan.
Di sana, terdapat sejumlah goa yang menjadi habitat kelelawar yang kini tak dapat lagi diakses.
"Kawasan tersebut padahal adalah daerah resapan air, tetapi kini setelah ada aktivitas tambang, air tak dapat lagi diakses masyarakat dan hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan aktivitas tambang tersebut. Kami pun bingung harus bagaimana," ujarnya.
Apa yang dirasakan oleh Soim menjadi keprihatinan yang dirasakan oleh sebagian besar warga lereng Menoreh.
Mereka merasa khawatir jika kondisi terus dibiarkan seperti ini, kelangsungan hidup mereka juga akan terancam.
Baca: Dinpar Kulonprogo Rancang Program Live In di Menoreh
Warga pun mulai tergugah.
Mereka ingin memulihkan kembali bukit yang menjadi tempat tinggal mereka selama ini, menghijaukan kembali hutan yang ada di sana.
Dimulai dengan cara sederhana, yakni menanam pohon kembali.
Sebagian warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Menoreh pun menginisiasi upaya reboisasi tersebut.
Mereka melakukan penghijauan lahan-lahan perbukitan Menoreh.
Setiap ada kegiatan apapun yang ada di Menoreh, pasti tersemat kegiatan penanaman pohon.
Seperti yang dilaksanakan pada Hari Pohon Sedunia yang jatuh pada hari Selasa (27/11/2018) ini.
Puluhan warga menanam 20.000 bibit pohon di Dususn Selorejo, Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Dengan menggunakan pakaian adat jawa, baju sorjan dan blangkon, mereka menanam bibit pohon di sekitar kawasan Museum Marmer Indonesia.
Sebelum berangkat melakukan penanaman, warga berdoa di Balai Desa Ngargoretno.
Dipimpin oleh tokoh agama setempat, mereka berdoa agar Bukit Menoreh menjadi kawasan yang hijau dan lestari, tidak lagi menjadi kawasan yang rawan bencana longsor atau kekeringan.
Tidak ada penambangan dan kegiatan lain yang dapat merusak lingkungan.
Baca: Bahaya Kebakaran di Perbukitan Menoreh
"Kita mengambil bibit di balai desa Ngargoretno. Sebagian bibit telah didistribusikan kemarin. Penanaman dilakukan smbolis bersama Forum Masyarakat Peduli Ngargoretno, tokoh agama dan masyarakat, dengan mengenakan pakaian adat jawa. Kenapa dengan adat jawa, kami berharap acara tersebut lebih membumi," ujarnya.
Setelah berdoa, mereka berangkat menuju lokasi penanaman pohon.
Bibit tanaman yang ditanam ada sekitar 20ribu bibit, yang terdiri dari bibit pohon Aren, Beringin, Kopi, dan Trembesi.
Sekitar 1.000 bibit Trembesi adalah murni swadaya dari masyarakat, dan para pelaku konservasi Menoreh.
Sisanya bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup dan PLN Kabupaten Magelang.
"Kopi dan tanaman buah-buahan ini adalah varietas yang bernilai ekonomi sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat di kemudian hari. Tapi lebih dari nilai ekonomi, kami mau mengajak masyarakat agar melestarikan tanaman konservasi yang bisa menyimpan air dan menahan longsor," ujar Soim.
Soim mengatakan tujuan dari kegiatan ini tak lain adalah untuk melestarikan kembali kawasan perbukitan Menoreh.
Giat penanaman pohon ini diharapkan juga menjadi sarana edukasi dan sosialisasi masyarakat untuk turut serta dalam upaya pelestarian.
"Kita laksanakan penanaman ini semata-mata karena melihat kondisi kawasan menoreh sudah ada pergeseran, dari tadinya tidak kekeringan, menjadi kekeringan. Dari semula tidak longsor, menjadi longsor. Kita mulai sekarang melakukan konservasi dengan harapan kesemibangan alam dapat terjaga," ujarnya.
Lanjut Soim, kegiatan penamanan pohon ini tak akan berhenti begitu saja.
Upaya pelestarian lingkungan terus dilanjutkan, tak hanya sekedar seremoni, tetapi lebih kepada tindakan nyata.
Tak peduli, peringatan hari apa, kegiatan penamanan pohon tetap dilaksanakan.
"Hal ini semata-mata demi mengkampanyekan isu pelestarian alam dan terus mengedukasi masyarakat agar menoreh bisa lestari di waktu-waktu mendatang. Alam ini adalah apa yang kita wariskan bagi anak cucu kita nanti, jadi mari kita terus jaga demi mereka," ujarnya.(TRIBUNJOGJA.COM)