Kisah Mantan Atlet Tinju Nasional Asal DIY, Rela Jadi Juru Parkir Demi Menyambung Hidup
Tidak semua olahragawan Tanah Air itu memiliki nasib baik ketika dirinya sudah tak lagi menekuni dunia olahraga
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Di tengah hingar bingar gelaran pesta olahraga Asian Games beserta melimpahnya bonus yang diterima para atlet, mulai dari uang miliaran rupiah, diangkat sebagai PNS, bahkan mendapat hadiah rumah, terselip ratapan para mantan atlet yang masih dipandang sebelah mata.
Tidak semua olahragawan Tanah Air itu memiliki nasib baik ketika dirinya sudah tak lagi menekuni dunia olahraga dan memiliki hidup yang cukup memprihatinkan di hari tua mereka.
Satu di antaranya adalah nasib Supriyono (52), mantan atlet tinju nasional asal DIY.
Deretan medali emas perak perunggu yang terbingkai rapi ditembok rumah kontrakan sederhananya, serta piala berjejer penuh debu yang terletak di meja ruang tamu menjadi pengingat hidup cerah masa jayanya.
Aktif sebagai petinju mulai1985, Supriyono atau yang akrab disapa Pak Pri merintis karir di sasana Tugu Mataram Boxing Club (TMBC).
Kala itu Pak Pri hanya menempuh pendidikan akhirnya hingga bangku SMP, bukan lantaran pilihan untuk fokus sebagai atlet, namun dari tinju ia berharap dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.
"Sepanjang berkarir sebagai petinju ada lima medali emas, tujuh perak, dan satu perunggu," kata Pak Pri.
Berbagai kejuaraan mulai dari tingat daerah, nasional, dan tingat internasional pernah ia ikuti kala masih aktif sebagai petinju, di antaranya Wijayakusuma Cup 1985, Anniversary Cup di Jakarta 1987, Asahan Trophy Cup 1987/1988, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun satu ajang yang istimewa baginya ialah Kejuaraan Sarung Tinju Emas di Kalimantan Barat 1987.
"Jadi kejuaraan Sarung Tinju Emas adalah kejuaraan tinju yang diikuti oleh peserta minimal meraih perunggu ditingkat nasional. Saat itu saya meraih medali perak usai difinal berjumpa wakil dari Papua," terang Pak Pri.
Namun saat itu kekecewaan harus diterimanya, usai ia tak diikutsertakan untuk berlaga di Presiden Cup mewakili Indonesia yang seharusnya diambil dari peraih emas, perak, perunggu.
"Belum (sempat berlaga di even internasional), saya lucunya itu. Waktu sarung tinju emas itu biasanya diambil juara 1 2 3 untuk terjun di Presiden Cup. Saya yang waktu itu mendapat medali perak tidak diberangkatkan, sementara yang saat itu tidak mendapat medali justru diberangkatkan untuk mengikuti pelatnas," sesal Pak Pri.
Tak berkecil hati, dua tahun berikutnya tepatnya 1987/1988 puncak karir ia raih.
Di ajang Anniversary Cup di Jakarta,wakil dari Malaysia, Nepal, dan beberapa negara lain berhasil ia taklukkan.
Namun di laga pamungkas ia harus mengakui keunggulan wakil Thailand.