Singgah di Masjid Bersejarah

Video Masjid Soko Tunggal, Ada Kisah Umpak Petilasan Sultan Agung

Video Masjid Soko Tunggal, Ada Kisah Umpak Petilasan Sultan Agung yang Diangkut dari Plered.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Hari Susmayanti

TRIBUNJOGJA.COM - Sekilas, bangunan ini seperti masjid pada umumnya. Namun jika diperhatikan dengan detail, ternyata masjid ini menyimpan banyak sekali keunikan.

Namanya Masjid Keraton Soko Tunggal. Sesuai dengan namanya, masjid yang dibangun oleh Keraton Ngayogyakarta tersebut, hanya memiliki satu saka guru, atau tiang penyangga utama.

Padahal, biasanya, bangunan-bangunan berkonsep Jawa disangga oleh sedikitnya empat saka guru.

Bagi masyarakat Yogyakarta, Masjid Keraton Soko Tunggal tentu sudah tidak asing lagi. Lokasinya berada di Kompleks Keraton Ngayogyakarta, atau tepatnya di jalan masuk menuju objek wisata Taman Sari, Jalan Taman 1, Nomor 318, Kecamatan Kraton, Yogyakarta.

Menurut prasasti yang tertera di dinding depan, masjid diresmikan pada Rabu Pon, 28 Februari, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sedangkan pembangunan diselesaikan pada 1 September, dengan suryasengkala "Nayana Resi Anggatra Gusti" 1972 M.

Salah seorang Takmir Masjid Keraton Soko Tunggal, Sugeng Purnomo, mengatakan bahwa berdirinya masjid tersebut, menjadi sumber ketentraman tersendiri bagi masyarakat kala itu.

Baca: Video Masjid Gedhe Kauman, Miliki Serambi yang Ditopang 56 Tiang

Pasalnya, kala itu, belum ada satupun masjid di kawasan Taman Sari.

"Waktu itu rasanya ayem, begitu tahu masjid mau dibangun. Masyarakat pengen dibangunkan masjid buat salat jamaah. Dulu sini gelap, masih hutan-hutan," katanya.

Tidak bertepuk sebelah tangan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX lantas membentuk panitia pembangunan, yang diketuai oleh kakaknya, GBPH Prabuningrat.

Masjid kemudian dibangun di atas lahan pemberian Keraton Ngayogyakarta, seluas 900 meter persegi.

Sugeng mengisahkan, sebidang tanah sebagai lokasi pembangunan masjid tersebut, dipilih langsung oleh Sang Raja.

Bukan tanpa alasan, tepat di bawah Masjid Keraton Soko Tunggal, dikuburkan 10 orang pejuang, yang meninggal saat Serangan Umum 11 Maret 1949.

"Memang di bawahnya makam pahlawan. Beliau menginginkan masjid ini sekaligus menjadi monumen bagi para pejuang," kisahnya.

Seperti masjid-masjid peninggalan Keraton Ngayogyakarta lainnya, yang tersebar di seantero Yogyakarta, Masjid Keraton Soko Tunggal dibangun dengan gaya, atau arsitektur Jawa.

Terdapat serambi di bagian depan, yang terpisah oleh dinding, dengan ruang utama.

Bukan arsitektur sembarangan tentunya, karena perancangnya merupakan arsitek kenamaan milik Keraton Ngayogyakarta, Ngabehi Mintobudoyo.

Yang menarik, di dalam ruang utama, hanya terdapat satu saja saka guru, yang dikelilingi oleh empat uat saka bentung.

"Ini melambangkan Pancasila. Saka guru merupakan lambang sila yang pertama, tentang prinsip ketuhanan. Lalu untuk usuk sorot (memusat seperti jari-jari payung), merupakan lambang kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya," jelas Sugeng.

Sedangkan kayu jati yang berdiri kokoh digunakan sebagai saka guru, diyakini sudah berumur 150 tahun, dengan diameter 50x50 sentimeter.

Sedangkan umpak (batu penyangga tiang) berasal dari petilasan Sultan Agung Hanyokrokusumo, di Pleret, Bantul.

"Ada kisah menarik, dulu waktu umpak itu mau diangkut dari Pleret dengan mobil, tidak bisa. Mobilnya tidak bisa jalan. Akhirnya diangkut pakai gerobag sapi. Padahal, logikanya, jelas lebih kuat tenaga mesin, dibanding dua ekor sapi," tuturnya.

Jika mengamati secara detail, di Masjid Keraton Soko Tunggal terdapat beragam ukiran sarat makna, yang menambah keindahan dan kewibawaaan.

Sebut saja ukiran praba, berarti Bumi, tanah, kewibawaan. Ukiran saton berarti menyendiri, sawiji.

Lalu ukiran sorot, berarti sinar cahaya matahari. Ukiran ceplok-ceplok berarti pemberantas angkara murka.

Ukiran mirong berarti maejan atau nisan, sebagai peringatan bahwa pada saatnya nanti, semua makhluk hidup pasti dipanggil oleh Allah SWT.

Selanjutnya, ukiran tlacapan berarti panggah, yaitu tabah dan tangguh. Kemudian, ukiran tetesan embun di antara daun dan bunga yang terdapat di balok uleng, memiliki makna kurang lebih siapa yang menunaikan salat di masjid ini, semoga mendapat anugerah.

"Saya ingat betul, ukiran itu dikerjakan oleh empat, atau lima orang. Pekerjanya sangat teliti," cetusnya.

Seiring berjalannya waktu, Masjid Keraton Soko Tunggal tentu tak luput dari renovasi.

Teranyar, di sisi timur masjid, dibangun sebuah rest area, karena dewasa ini semakin banyak wisatawan yang mampir, baik untuk beribadah salat, maupun sekadar melepas lelah.

"Jadi, silakan kalau mau istirahat, monggo di rest area. Tapi, bangunan baru itu juga kami manfaatkan untuk pengajian anak-anak, lalu takjilan (buka bersama) juga. Dibangunnya baru tahun ini," jelas Sugeng. (azka ramadhan)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved