Ramadan 1439 H

Shalawat Rodad, Tradisi Langka Warga Desa Banjarharjo II Bantul Menunggu Waktu Berbuka Puasa

Rodad ini merupakan shalawat langka, dengan menyuguhkan gerakan refleksi terapi kesehatan.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
Puluhan warga Banjarharjo II melakukan tradisi Shalawat Rodad menjelang berbuka puasa di Alas Literasi, Banjarharjo 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Warga Desa Banjarharjo II, Muntuk, Dlingo, Bantul memiliki tradisi unik dan menarik jelang datangnya waktu berbuka puasa, yakni melantunkan shalawat rodad.

Rodad ini merupakan shalawat langka, dengan menyuguhkan gerakan refleksi terapi kesehatan.

Pukul 16.30 WIB, dengan mengenakan kopiah, baju muslim putih dan sarung hitam ala pakaian santri, puluhan orang Banjarharjo II ini bershalawat sambil mainkan kipas kecil hitam.

Mereka bergerak-gerak mengikuti irama genjring (alat musik rebana) yang ditabuh.

Para pemain shalawat Rodad di Banjarharjo II ini terbagi dalam dua kelompok.

Kelompok pertama bertugas melakukan gerakan sambil memegang kipas. Kelompok ini disebut leyeh.

Sementara, kelompok kedua, terdiri dari para pelantun shalawat dan penabuh rebana, biasa usianya lebih tua, kelompok ini disebut dalang.

Dalam shalawat rodad, antara alunan rebana, bunyi shalawat yang dilantunkan dan gerakan leyeh harus membentuk harmonisasi dan kekompakan. Sehingga tampak serasi dan indah.

Koordinator Shalawat Rodad Banjarharjo II, Ahmadi, mengatakan shalawat rodad sudah ada di desa Banjarharjo II sejak 65 tahun silam, tepatnya tahun 1953.

Shalawat ini sendiri diajarkan oleh nenek moyang pendahulu mereka.

Awal mulanya, shalawat Rodad di desa Banjarharjo II diajarkan oleh lima orang tokoh agama.

Kelima tokoh agama itu antara lain, Ahmad karsum, Mbah Mujahid, Mbah Dolah Sadid, Mbah Mustang, dan Mbah Abdurrahman.

"Lima orang ini yang awal mula mengajari Shalawat Rodad di desa Banjarharjo II setelah sebelumnya belajar shalawat Rodad di Giriloyo, Imogiri," tuturnya.

Diceritakan Ahmadi, zaman dahulu nenek moyang pendiri shalawat Rodad merupakan petani yang bekerja di ladang, letaknya di alas Pleret.

Suatu ketika, kelima nenek moyang sekaligus, tokoh agama pendiri Rodad mencari ladang baru ke wilayah barat.

"Ketika berhenti di gumukan Banjarharjo. Pukul 11 malam, nenek moyang kita, kelima tokoh agama itu mendengar sayup-sayup suara dari selatan, wilayah Pajimatan, Giriloyo," katanya.

Penasaran pada suara yang didengar. Kelima tokoh agama itu, beberapa hari kemudian, tepatnya malam jumat pon, mencoba menyusuri sumber suara yang ternyata ada di Giriloyo.

"Di Giriloyo ini, selama 21 hari, kelima tokoh agama Banjarharjo II belajar seni shalawat rodad," ungkapnya.

Setelah dirasa cukup dan menguasai seni shalawat rodad, kelima tokoh agama tersebut kemudian pulang ke desa Banjarharjo II.

Mereka mengumpulkan santri-santri yang ada di musala, untuk sama-sama belajar seni shalawat rodad.

"Awal mula da 25 santri yang ikut latihan Shalawat rodad. Selama satu tahun, mereka baru bisa. Latihan dilakukan rutin setiap malam, kalau bulan Ramadan setelah salat tarawih dan siang atau menjelang berbuka. Supaya melatih santri jangan sampai malas," terangnya.

"Setiap hari latihan shalawat Rodad ini rutin dilakukan. Ternyata bukan membuat santri lemas, tapi justru shalawat rodad ini berkhasiat menambah kebugaran tubuh," ungkap dia. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved