Internasional
Satu Rahasia yang Bikin Pilot Jet Tempur TNI AU Lebih Jago Terbangkan Sukhoi Ketimbang Pilot Rusia
Ketika Indonesia ingin membeli Sukhoi, seperti Su-35 dan para pilot Sukhoi TNI AU harus berlatih di Rusia, mereka sering dibuat terkejut.
TRIBUNJOGJA.COM - Sebagai produsen jet-jet tempur Sukhoi seperti Su-27/30 dan Su-35, para pilot tempur Rusia yang biasa menerbangkan Sukhoi ternyata memiliki perbedaan yang menyolok dibandingkan dengan para pilot Sukhoi Indonesia (TNI AU).
Baik di Rusia maupun Indonesia biaya operasional untuk menerbangkan jet tempur Sukhoi dikenal sangat mahal.
Pasalnya setiap jam terbang Sukhoi biayanya, sesui ditulis Majalah Angkasaterbitan 3 Desember 2011 setara dengan 2 hingga 3 harga mobil Toyota Kijang.
Jika biaya menerbangkan Sukhoi itu setiap jamnya dihitung pada 2018, maka bisa diandaikan setara dengan harga 2 hingga 3 mobil Kijang Innova atau lebih dari Rp1 miliar.
Cara untuk menghitung biaya per satu jam terbang Sukhoi itu memang hanya internal TNI AU yang tahu.
Tapi biaya yang diperlukan untuk satu jam terbang Sukhoi secara global antara lain BBM, penurunan fungsi airframe pesawat sehingga makin mempercepat masuk ke tahap perawatan, berkurangnya jumlah jam terbang terbang, dan lainnya.
Khusus untuk berkurangnya jumlah jam terbang Sukhoi, ketika jet-jet tempur Rusia itu tiba di Indonesia dalam kondisi baru, masing-masing sudah memiliki ‘jatah’ jam terbang.
Misalnya setiap unit pesawat Sukhoi memiliki jam terbang operasional sebanyak 2.000 jam terbang.
Maka setelah 2.000 jam terbang tercapai, pesawat harus masuk ke tahap perawatan seperti penggantian suku cadang dan lainnya.
Dengan demikian setiap kali para pilot TNI AU menerbangkan Sukhoi maka ‘jatah’ jam terbang Sukhoi juga makin berkurang.
Sementara berkurangnya jam terbang Sukhoi juga makin berpengaruh kepada tahap perawatan yang biayanya sangat besar.
Apalagi jika tahap perawatan sampai dilakukan di Rusia.
Oleh karena itu dengan pertimbangan operasional Sukhoi yang demikian mahal para pilot Sukhoi di Rusia malah jarang berlatih terbang menggunakan Sukhoi tapi pesawat-pesawat latih lainnya.
Sebaliknya para pilot Sukhoi TNI AU karena sudah memiliki kurikulum yang jelas setiap tahunnya tetap melakukan latihan terbang rutin.
Bahkan dari sisi jumlah jam terbang, para pilot Sukhoi TNI AU selalu mengalami peningkatan jumlah jam terbangnya setiap tahunnya.
Dengan jumlah jam terbang yang lebih banyak dibandingkan jam jerbang para pilot Sukhoi Rusia, maka dari sisi profesionalisme, kemampuan terbang pilot-pilot Sukhoi TNI AU menjadi lebih unggul dibandingkan para pilot Sukhoi Rusia.
Oleh karena itu ketika Indonesia ingin membeli Sukhoi, seperti Su-35 dan para pilot Sukhoi TNI AU harus berlatih di Rusia, mereka sering dibuat terkejut.
Pasalnya banyak pilot latih Rusia yang jam terbangnya justru di bawah para pilot Sukhoi senior TNI AU.
Para pilot TNI AU yang sedang dilatih terbang menggunakan jet tempur Sukhoi, kadang juga merasa ‘jengkel’ karena para pilot latih Rusia termasuk pelit dalam membagikan ilmu terbangnya.
Ketika berlatih terbang di Rusia, para pilot TNI AU sebenarnya lebih membutuhkan ketrampilan menerbangkan Sukhoi sambil mengoperasikan persenjataan.
Tapi karena parktek menggunakan persenjataan Sukhoi juga butuh biaya sangat mahal, maka ketrampilan yang sangat dibutuhkan dalam pertempuran udara yang sesungguhnya itu hanya bisa dipoleh dengan menggunakan simulator.
Jet Tempur F-16 Bisa Dipakai Berulang-ulang, Sukhoi Hanya untuk 'Sekali Pakai'
Angkatan Udara Indonesia (TNI AU) sebenarnya merupakan AU yang unik karena memakai dua produk jet tempur buatan Rusia dan AS sekaligus.
Di era Perang Dingin, berbagai negara seperti Indonesia hanya bisa memilih satu produk jet tempur saja untuk dibeli: produksi Rusia atau AS saja.
Ketika Indonesia berusaha dipengaruhi oleh komunis Rusia saat Perang Dingin maka berbagai alat utama sistem senjata (alutsista) bisa dibeli dengan mudah dari Rusia.
Pada tahun 1960-an berkat alutsista yang dibeli dari Rusia, khususnya pesawat-pesawat tempur dan kapal selam, Indonesia bahkan memiliki kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara.
Tapi ketika di era Orde Baru, Indonesia lebih condong ke AS, maka alutsista dari AS pun gampang dibeli.
Sebaliknya alutsista dari Rusia terpaksa menjadi besi tua karena minimnya suku cadang terkait hubun gan RI-Rusia yang sedang memburuk.
Tapi alustista dari AS juga bisa sewaktu-waktu terancam embargo senjata dari AS, jika antara Indonesia dan AS tiba-tiba terjadi konflik baik secara militer maupun politik.
Konflik yang berujung pada sangsi embargo suku cadang alutsista bahkan bisa terjadi jika Indonesia secara tiba-tiba punya konflik dengan negara-negara sekutu AS, seperti Australia, Inggris, dan Timor Leste.
Misalnya saja tentara RI menggunakan senjata-senjata buatan AS untuk menangani para pelintas batas ilegal yang menyeberangi perbatasan NTT dan Timor Leste.
Pemerintah AS yang kemudian marah bisa berakibat pada sangsi berupa embargo senjata.
Berdasar embargo senjata yang pernah dialami maka ketika TNI membeli altsista dari Rusia dan AS sekaligus, merasa lebih diuntungkan.
Pasalnya jika salah satu dari kedua negara itu menerapkan embargo persenjataan militer ke Indonesia, TNI masih bisa mengandalkan satu negara lainnya.
Tapi mengoperasikan alutsista produk AS dan Rusia sebenarnya tidak sama.
Misalnya saja, Rusia merasa heran karena jet-jet tempur Sukhoi oleh TNI AU digunakan untuk latihan terbang dan pertunjukkan aerobatik.
Padahal di Rusia, jet-jet tempur Sukhoi yang berharga sangat mahal hanya digunakan sekali pakai untuk perang seperti senjata pusaka.
Jadi bukan untuk latihan terbang dan pertunjukkan aerobatik, karena jet-jet tempur Sukhoi seharusnya disimpan dan hanya digunakan saat perang.
Operasional Sukhoi memang terkenal sangat mahal. Pasalnya dalam satu jam terbang biaya yang dikeluarkan mencapai lebih dari Rp500 juta.
Rusia sendiri memberlakukan jika jet-jet tempur Sukhoi mengalami kerusakan, harus diganti dengan yang baru bukan malah diperbaiki lalu digunakan bertempur lagi.
Sebaliknya jet-jet tempur AS seperti F-16 penggunannya memang berbeda jika dibandingkan dengan Sukhoi.
Jet-jet tempur AS seperti pedang dan bisa digunakan dalam pertempuran sampai beberapa kali serta bisa juga “diasah” dengan cara di-upgrade.
Oleh karena itu jet-jet tempur AS yang sudah tidak dioperasikan akan disimpan dengan baik di suatu tempat yang beriklim steril.
Tujuannya adalah untuk jaga-jaga kalau ada negara yang mau membeli atau untuk program penghibahan.
Dengan fungsi jet-jet tempur produksi AS yang bisa memiliki usia panjang itu dan telah dioperasikan oleh suatu negara sebenarnya mengandung resiko jangka panjang.
Maka supaya tidak ada masalah ke depannya, khususnya embargo senjata, negara-negara pengguna alutsista AS memang harus selalu memiliki hubungan baik dengan negeri Paman Sam itu.
Resiko jangka panjang itu akan berbeda jika suatu negara membeli alutsista dari Rusia yang berprinsip “hanya sekali pakai”.
Rusia tak mau memusingkan embargo senjata. Pasalnya di era terkini negara mana pun asal punya duit bisa memborong alustista produk Rusia kapan saja. (*)