Bantul
Warga Antusias Hadiri Merti Dusun Saradan
Warga datang ke sendang guna menyaksikan pentas kesenian Tayub yang digelar warga Dusun Saradan memperingati Merti Dusun.
Penulis: Susilo Wahid Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Senin (16/4/2018) pagi, ratusan warga Dlingo memadati kawasan Sendang Suro Setiko, Dusun Saradan, Terong, Dlingo, Bantul.
Mereka datang ke sendang guna menyaksikan pentas kesenian Tayub yang digelar warga Dusun Saradan memperingati Merti Dusun.
Bukan sekedar pentas biasa, karena Pentas Tayub di tempat ini sudah digelar ratusan tahun lamanya.
Tayub, yang sudah dikenal masyarakat Jawa pada umumnya adalah kesenian tari yang identik dengan keberadaan penari atau pengibing wanita.
Ada kebiasaan memberi sawer berupa uang.
Tayub yang menjadi satu dari beberapa warisan tradisi ini biasa digelar sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Diungkapkan oleh Lanjar Nur Hadi, sesepuh desa setempat yang juga Ketua Panitia Merti Dusun Saradan, bahwa seni Tayub di Sendang Suro Setiko adalah warisan nenek moyang.
"Sejak saya SD, waktu itu tahun 1960 tradisi Tayub saat Merti Dusun sudah ada di sini," kata Lanjar.
Lanjar tak tahu pasti kapan tradisi Tayub ada di Dusun Saradan.
Namun ia memperkirakan, Tayub sudah mulai ada sekitar tahun 1900.
Tempo pastinya, sebelum Indonesia merdeka 1945.
Sementara sekitar tahun 1890 sendang ini sudah mulai dikelola disusul tradisi Tayub setelahnya.
Sendang Suro Setiko sendiri konon adalah petilasan salah satu prajurit Majapahit.
Prajurit istirahat di sendang bersama kuda miliknya namun keduanya ternyata hilang dari sendang.
Warga mempercayai, prajurit moksa (kembali ke asal kehidupan) bukan menghilang begitu saja.
Meski Tayub digelar sudah ratusan tahun, tak ada grup Tayub di desa setempat.
Desa selalu mendatangkan grup Tayub dari luar daerah.
"Empat tahun terakhir kita mengundang grup Tayub dari Bayat, Klaten. Sebelumnya, kita mengudang dari Gunung Kidul, biasanya Semin," kata Lanjar. (*)