Sultan Awali Rayahan Gunungan Bromo
Gunungan yang hanya dihadirkan setiap delapan tahun sekali ini memiliki tinggi kurang lebih sekitar dua meter.
Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja Yudha Kristiawan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kira kira pukul 11.10 WIB arak arakan Gunungan Bromo yang menjadi salah satu gunungan dalam upacara Garebek Maulud di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun ini memasuki area dalam Keraton, tepatnya di area Kedhaton, Jumat (1/12/17).
Belasan bergada yang berbusana atasan merah dengan aksesori topi merah menandu gunungan ini.
Gunungan yang hanya dihadirkan setiap delapan tahun sekali ini memiliki tinggi kurang lebih sekitar dua meter.
Dari kejauhan, gunungan ini nampak mengeluarkan asap dari bagian tengah.
Rupanya asap ini berasal dari bara dupa yang dibakar dan diletakkan di dalam gunungan.
Asap ini menggambarkan sebuah gunung aktif yang selalu mengeluarkan asap dari kawahnya.
Tak berselang lama, setelah diturunkan di depan halaman bangsal Kencana, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengenakan busana kebesaran berwarna hijau toska segera mengawali adat Rayahan Gunungan yang diikuti oleh seluruh kerabat keraton yang hadir pada saat itu.
Baca: Lantunan Gamelan Iringi Prosesi Garebek Maulud
Sebelum kerabat yang lain berebut isi gunungan , Sultan Hamengkubuwono X nampak berjalan cepat menghampiri gunungan dan mencabut salah satu isi gunungan lalu seluruh kerabat keraton yang sudah bersiap siap tumpah ruah berebut isi gunungan.
Rayahan berlangsung seru, beberapa kerabat keraton terlihat sangat antusias berebut gunungan Bromo yang hanya dihadirkan setiap Garebek Maulud yang jatuh padahal tahun Dal atau setiap delapan tahun sekali ini.
Ekspresi wajah yang sumringah dan diikuti tawa riuh para kerabat membuat suasana yang tadinya hening mendadak ramai.
GKR Hayu yang siang itu mengenakan busana kebesaran Keraton yakni kebaya berwarna hijau dengan bawahan kain batik, nampak sumringah dengan dua buah hiasan ditangan hasil dari rayahan Gunungan Bromo.
Hiasan tersebut adalah isi dari Gunungan yang terbuat dari bahan tepung beras dan ketan, dibentuk mirip bunga yang tengah mekar dengan warna merah, kuning, hijau dan putih.
Ditemui di sela acara rayahan, putri ke empat Sri Sultan Hamengku Buwono X ini menuturkan bahwa Gunungan Bromo dan gunungan lain itu adalah sedekah raja yang menjadi salah satu wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa semua berkah yang diberikan.
"Gunungan Bromo khusus dikeluarkan setiap tahun Dal saja. Kalau yang gunungan untuk masyarakat isinya ada makanan seperti wajik, kalau ini ada baranya (kemenyan). Prinsipnya manunggaling kawula Gusti, sedekah raja untuk semua," terang GKR Hayu.
Baca: GKR Hayu Berharap Garebek Maulud untuk Kebaikan Bersama
Melalui peringatan Maulud yang bertepatan dengan tahun Dal ini, GKR Hayu berharap wujud rasa syukur ini memberikan kebaikan untuk semua, baik untuk masyarakat dan kerabat keraton.
Sementara itu, Wilopo Darwanto, abdi dalem yang bertugas di perpustakaan Banjar Wilopo,yakni perpustakaan milik keraton juga berharap, melalui tradisi ini bisa melestarikan budaya sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dari seorang hamba kepada penciptanya.
"Tradisi ini merupakan doa agar keselamatan selalu menyertai kami semua," ujar pria yang sudah satu dekade menjadi petugas di perpustakaan milik keraton ini.
Rangkaian acara tradisi Garebek Maulud ini selain rayahan Gunungan juga dilakukan prosesi mbusanani pusaka yakni mengganti kain yang dipakai untuk menutup pusaka-pusaka milik Keraton, seperti Tombak Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Megatruh.
Sebelum digelar rayahan Gunungan Bromo, ada prosesi pisowanan di Bangsal Kencana, yakni Raja menerima Pisowanan dari para kerabat, sentana dan para abdi dalem.
Pada prosesi ini, Raja akan mengepal nasi yang di ambil dari pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan akam dibagikan pada kerabat yang ikut pisowanan.
Baca: Amankan Prosesi Garebek Maulud, Polisi Terjunkan Ratusan Personil
Lantunan tembang dari perangkat gamelan mengiringi prosesi tradisi Garebek Maulud yang digelar di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tiga perangkat gamelan dimainkan secara bergantian di Plataran Kedhaton Keraton.
Ketiga gamelan yang dimainkan dalam acara acara penting di Keraton ini bernama Guntur Laut (Monggang), Kanjeng Kiai Surak, dan Kanjeng Kiai Kancil Belik.
Sementara para abdi dalem kerabat lainnya sudah menunggu di bangsal Kotak.
Prosesi pesowanan yang mengawali tradisi Garebek Maulud terlebih dahulu digelar.
Sri Sultan Hamengku Buwono X yang hadir duduk di Bangsal Kencana.
Setelah GKR Mangkubumi datang membawa pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong, Sultan mulai ngeduk (mengambil) nasi di dalam Kanjeng Nyai Mrica dan menaruhnya di Kanjeng Kiai Blawong.
Sultan kemudian membuat tiga kepal nasi yang kemudian diserahkan kepada GKR Mangkubumi.
Setelah itu, Kiai Pengulu berdiri dan membacakan doa.
Selanjutnya, Putri Dalem dan Mantu Dalem kemudian meneruskan mengepal nasi yang ada di Kanjeng Kiai Blawong.
"Bulatan nasi yang dibagikan ini merupakan simbol keinginan Sri Sultan untuk berbagi kesejahteraan dengan para Abdi Dalem.Juga harapan agar Abdi Dalem dapat terus menjalankan tugas dan melanjutkan pengabdian," terang Astrid, salah satu Tepas Tandayekti Keraton Yogyakarta.(TRIBUNJOGJA.COM)