Sering Mengamuk Dua Tahun Kaki Wawan Dirantai

Ironisnya lagi kakinya harus diikat dengan rantai dan terikat pada lantai semen gubuk bambu ukuran 4x4 meter.

Penulis: ang | Editor: oda
tribunjogja/angga purnama
Petugas Polsek Jogonalan meninjau kondisi Wawan Sri Mulyadi di gubuk pasungannya di Desa Joton, Jogonalan, Selasa (7/2/2017). Karena sering mengamuk, kaki Wawan terpaksa diikat rantai agar tidak membahayakan warga 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Angga Purnama

TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Miris, demikian gambaran kondisi Wawan Sri Mulyadi (36) warga Desa Joton, Kecamatan Jogonalan.

Sudah dua tahun ini ia menjalani hidup menyendiri di belakang rumah orangtuanya.

Ironisnya lagi kakinya harus diikat dengan rantai dan terikat pada lantai semen gubuk bambu ukuran 4x4 meter.

Hal itu terpaksa harus dijalaninya lantaran gangguan jiwa yang dialaminya.

Keluarga mengaku terpaksa mengikat kaki Wawan lantaran kondisinya sudah semakin parah dan sering kali tindakannya membahayakan keluarga dan warga sekitar.

Ia diketahui sering mengamuk dan merusak benda-benda yang ditemuinya. Bahkan sudah beberapa kali ibunya, Sadinem (71) menjadi korban amukannya.

“Saya sudah beberapa kali kena pukul. Pernah sekali waktu saya akan memberi minum, tapi airnya justru disiramkan ke muka saya,” ujarnya saat ditemui Tribun Jogja, Selasa (7/2/2017).

Bukan itu saja, Sadimen mengaku sudah tidak dikenali oleh anak bungsunya itu.

Hanya sesekali anak kelimanya itu memanggilnya saat membutuhkan sesuatu, namun sesaat kemudian Wawan kembali mengamuk.

“Pernah saya dipanggil, waktu didatangi malah mengamuk. Saya juga pernah dilempar batu bata. Saya sampai bingung melihat kondisinya,” katanya.

Menurutnya sudah dua tahun terakhir kondisi gangguan kejiwaan Wawan semakin parah.

Sejak itulah, keluarga mengambil inisiatif untuk menempatkan Wawan di belakang rumah agar tidak sering bertemu dengan orang lain.

“Saya bingung, kenapa kondisinya semakin parah. Padahal sudah sering berobat ke Wedi (RSJD Dr Soejarwadi),” ungkapnya.

Sehari-hari, Wawan hanya diurus oleh ibunya dan kakak tertuanya, Purwanto (50).

Keluarga hanya berani memberikan makan saat Wawan tidur, pasalnya jika didekati Wawan sering mengamuk dan justru membuang makanannya.

Purwanto mengatakan gejala gangguan jiwa adik bungsunya itu muncul sejak tahun 2007 pasca Wawan keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan sebuah percetakan di Jakarta.

Wawan sendiri dikenal sebagai pemuda yang mandiri, lantaran sejak SMP ia sudah berusaha bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

“Sebelumnya tidak pernah seperti itu, dia dulu memang sudah rajin. Tapi pulang dari Jakarta tiba-tiba keadaannya berubah,” kata dia.

Ia mengatakan hingga saat ini keluarga tidak mengetahui secara pasti penyebab gangguan kejiwaan Wawan.

Pasalnya Wawan tidak pernah bercerita masalah yang dihadapinya hingga keinginannya. Hanya saja ia mengakui salah satu kerabatnya ada yang pernah mengidap gangguan jiwa.

“Adik dari Bapak pernah mengidap gangguan jiwa. Bisa jadi riwayat dari keluarga,” ujarnya.

Purwanto mengatakan Wawan sudah pernah beberapa kali dirawat di RSJD Dr Soejarwadi melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) (sekarang JKN BPJS).

Namun sejak 2014, pengobatan Wawan dihentikan lantaran kondisinya semakin parah dan tidak memungkinkan dibawa ke rumah sakit. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved