Menilik Jejak Putra HB II yang Bantu Pangeran Diponegoro Berperang
Desa Wanurejo, di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang ternyata menyimpan petilasan bersejarah
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Ikrob Didik Irawan
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Desa Wanurejo, di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang ternyata menyimpan petilasan bersejarah.
Di desa inilah, terdapat makam putra Hamengku Buwono II dari Bendara RM Ajeng Rantamsari bernama Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Tejokusumo dimakamkan.
BPH Tejokusumo juga berperan penting dalam sejarah bersama Pangeran Diponegoro mengusir Belanda di wilayah Magelang.
Suasana sejuk sangat terasa begitu menjejakkan kaki ke sebuah bangunan dengan desain joglo berukuran sekira 6x5 meter di Dusun Tingal Kulon, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur.
Dua orang perempuan paruh baya nampak memejamkan mata. Mereka merapal doa di depan dua makam yang diselubungi kain putih.
Bau dupa yang menyeruak bercampur dengan aroma bunga menjadi penanda bahwa tempat tersebut disakralkan dan dihormati oleh warga sekitar.
Dengan berjalan pelan, dua perempuan itu kemudian menarik dua tangannya seolah menyembah untuk pamit keluar.
Ya, kegiatan peziarahan itu terus dilakukan di dua makam yang bernama Puroloyo Cikalan ini. Makam ini cukup mudah ditemukan karena berada di dekat Candi Borobudur.
Untuk menuju ke areal makam, pengunjung diwajibkan berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Pengunjung juga diwajibkan untuk melepas alas kaki dan naik ke tangga yang merupakan tatanan batu.
Makam di dusun itu bagi warga sekitar merupakan sebuah tonggak sejarah yang tak ternilai. Betapa tidak, di situlah, jasad BPH Tejokusumo disemayamkan. Cikal bakal Desa Wanurejo juga tak terpisahkan dari tokoh ini.
Dari catatan sejarah yang dimiliki pengelola petilasan itu, awalnya Tejokusumo diberi tanah perdikan oleh ayahnya, Sultan HB II bernama Wonorejo.
Pada masa itu, Wonorejo merupakan bagian dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada tanggal 17 Mei 1799 Tejokusumo menikah dengan Roro Ngatirah, putri dari Pangeran Puger II dari garwo ampean, Siti Sundari.
“Tujuan dari Sultan HB II memberikan tanah perdikan ini adalah untuk memperkuat pribumi dalam mempertahankan bumi pertiwi dari jajahan Belanda,” ujar Sukiyadi, tokoh masyarakat Desa Wanurejo kepada Tribun Jogja, Senin (18/5/2015).
Perang Diponegoro
Dia menjelaskan, keberadaan petilasan ini juga cukup erat dengan perang Diponegoro. Dimana, saat itu, sekitar tahun 1825 ketika terjadi perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap kolonialisme Belanda di sepanjang pegunungan Menoreh, Tejokusumo yang juga dijuluki Eyang Wanu Tejokusumo ikut membantu laskar tersebut.
“Cara beliau membantu Pangeran Diponegoro adalah dengan menyamar dengan nama Wanurejo dan bersatu dengan laskar Diponegoro untuk melawan Belanda,” paparnya.
Sebagai buktinya, saat ini masih disimpan bedhug genderang perang di masjib Tiban Baitur Rohman Dusun Tingal Wetan.
Pada tahun 1836 karena eyang Wanu Tejokusumo meninggal dunia, maka sebagai sebuah penghormatan maka nama Kadipaten Wonorejo diabadikan menjadi Wanurejo.
Sukiyadi menyebut, untuk menggali sejarah petilasan ini tidak mudah.
Dia bersama dengan tim dari desanya bekerja menggali informasi dari mulut ke mulut yang disebutnya tutur tinular dari sesepuh desa. Termasuk, berusaha mencari dokumen-dokumen otentik.
“Kami mulai bekerja tahun 2009 dan karena ridho Allah, akhirnya Kraton mengeluarkan kekancingan tersebut, tepat pada 16 Mei lalu,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pihak Kraton Ngayogyakarta Hdiningrat memberikan surat kekancingan itu, Sabtu Malam (16/5). Di halaman makam, piagam kekancingan dengan nomor 028/KHPP/Mulud.I/EHE.1948.2015 tertanggal 25 Mulud EHE 1948 / 16 Januari 2015, yang ditandatangani oleh GKR.
Condrokirono, secara resmi diberikan oleh KRT Jatiningrat mewakili Kraton Ngayogyakarta kepada Kepala Desa Wanurejo Umi Aminah.
Dengan adanya kekancingan ini, makam yang diyakini masyarakat sekitar perbukitan Menoreh sebagai makam petilasan keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono ke II putra ke 76 ini, resmi di kukuhkan menjadi makam petilasan “Puroloyo Cikalan”.
Hal ini juga ditandai dengan peletakan air tujuh rupa dan penanaman pohon cikal di dekat petilasan.
Ketua RT III Dusun Tingal Kulon, Luardi Bendung menjelaskan, KRT Jatiningrat berpesan agar masyarakat lebih bisa menghargai para leluhur, tidak sekedar merawat akan tetapi juga selalu berdoa memohonkan ampunan.
Kedepannya, akan ada abdi dalem yang akan bertugas untuk menjaga petilasan tersebut. Termasuk, jalan naik ke petilasan ini akan dibuat 17 anak tangga sesuai tanggal lahir BPH Tejokusumo, 17 Mei dan saat merasuk agama Islam dia melakukan salat 17 rakaat.
“Kami berharap agar petilasan cikalan ini juga menjadi cikal bakal perkembangan pariwisata khususnya di wilayah Wanurejo. Nantinya, akan membawa kesejahteraan bagi warga sekitar,” tandasnya. (tribunjogja.com)