In Depth News
LTV KPR Ganggu Target Backlog
Diubahnya ketentuan mengenai loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti
Penulis: Victor Mahrizal | Editor: tea
Laporan Reporter Tribun Jogja, Victor Mahrizal
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Diubahnya ketentuan mengenai loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti, masih menimbulkan pro dan kontra.
Dampak aturan ini menekan target penjualan penyedia kredit pemilikan rumah (KPR), consumer banking, pengembang properti, hingga penyedia bahan bangunan. Namun yang paling terkena dampak langsung adalah pengembang properti dan penyedia bahan bangunan.
Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) DIY, Remigius Edi Waluyo, mengatakan, aturan ini semakin terasa berat bagi pengembang lokal yang masih didominasi pengembang kelas menengah, bahkan pengembang rumah sejahtera tapak (RST) atau hunian bersubsidi untuk mendukung program pemerintah. "Seharusnya industri perumahan didukung pemerintah, karena produk dan konsumennya juga didominasi oleh kalangan domestik," ujarnya, Sabtu (22/3/2014).
Remi menjelaskan, terdapat 170 produk industri yang terkait dengan properti. Dengan adanya aturan ini, sumber cash flow bagi pengembang menjadi menurun. "Produsen bahan bangunan juga terkena dampak, karena permintaan menurun," ujarnya.
Menurutnya, saat ini angka kebutuhan rumah (backlog) di Yogykarta sudah mencapai 100 ribu unit, yang tidak akan berkurang tanpa kemududahan dari pengambil kebijakan. "Banyak yang butuh rumah, tapi tidak ada daya beli. Aturan baru LTV akan menambah panjang backlog. BI mestinya pertimbangkan kebijkan ini, terutama LTV rumah pertama," tegasnya.
Remi juga mengungkapkan, pengembang juga dibebani pajak dari deposito, kemudian PPN 10 sepuluh persen, dan PPh 5 persen, padahal mereka hanya terima bunga 7 persen. "Ini jelas membuat harga rumah naik dan daya beli konsumen turun, pada akhirnya menambah angka backlog," jelasnya.
Usulkan DP 15-20%
Sebelumnya, Ketua Umum REI, Eddy Hussy, bahkan secara tegas meminta agar BI meninjau ulang aturan pembatasan besaran kredit LTV dan FTV untuk KPR. Bila tidak, dikhawatirkan target mengejar backlog perumahan sebanyak 15 juta unit akan sulit direalisasikan. "Aturan DP hingga 30 persen, membuat upaya pemenuhan backlog perumahan sebanyak 15 juta unit tidak akan terkejar," ujar Eddy.
Sejauh ini asosiasi mengharapkan agar uang muka KPR untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, bisa ditetapkan berkisar 15-20 persen dari total kredit. "Ini juga untuk mempercepat kenaikan pertumbuhan properti. Kami juga menginginkan agar backlog perumahan bisa terpenuhi," tegas Eddy.
Tak Ada Bubble Properti
KETUA Umum REI, Eddy Hussy, mengungkapkan, pada prinsipnya aturan yang dikeluarkan BI mengenai LTV dan FTV sangat terkait dengan kekhawatiran terjadinya penggelembungan harga di sektor properti. Namun, kata dia, selama ini REI tidak melihat adanya gejala bubble properti seperti yang dikhawatirkan bank sentral. "Pemberian kredit ke sektor properti masih 3,4 persen (rasio KPR terhadap PDB, red), kalau dibandingkan dengan negara lain yang sampai 30 persen, berarti kita masih sangat aman," imbuhnya.
Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP itu membatasi pembiayaan di perbankan konvensional, untuk kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau DP sebesar 30 persen dari harga jual.
Namun, untuk kredit rumah pertama tipe 22-70 meter persegi tidak dikenakan LTV. Tetapi rumah kedua dikenakan LTV sebesar 70 persen, rumah ketiga dan selebihnya 60 persen. Sedangkan, KPRS tipe 21 dan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan), untuk kepemilikan pertama tidak dikenakan LTV. (vim)
Skandal Kuliner Terkait :
Bakpia Tidak Asli Merajalela di 7 Titik Penting Yogya