Ekspedisi Sabuk Merapi 2011
Mencari Mata Air Bebeng di Gunungan Lahar Merapi
Mata air yang kini terkubur material lahar setebal lebih kurang lima meter itu sangat penting.
Editor:
Setya Krisna Sumargo

TRIBUN JOGJA/IWAN AL KHASNI
Alat berat backhoe mendaki jurang terjal menuju lembah Kalitengah, lokasi umbul Bebeng yang kini sedang digali, Sabtu (22/10/2011)
Laporan Reporter Tribun Jogja, Hendy Kurniawan/Setya Krisna Sumargo
HAMPIR tepat satu tahun erupsi dahsyat gunung Merapi, kehidupan di tiga dusun tertinggi di lereng selatan/tenggara gunung itu makin terasa denyutnya. Sebagian besar warga Dusun Srunen, Kalitengah Kidul, dan Kalitengah Lor di Kecamatan Cangkringan, Sleman telah kembali.
Mereka meninggalkan hunian-hunian darurat yang didirikan di beberapa titik di luar kawasan rawan bencana, membangun kembali kehidupan di atas puing-puing rumah dan desanya yang remuk disapu awan piroklastik Merapi pada periode letusan Oktober-November 2010.
Kehadiran warga tiga dusun di desanya juga dibarengi misi pencarian kembali mata air Bebeng di jurang sebelah Dusun Kalitengah Lor oleh para pegiat Yayasan Dian Desa. Mata air yang kini terkubur material lahar setebal lebih kurang lima meter itu sangat penting.
Perannya bagi kehidupan masyarakat di lereng selatan Merapi tidak ternilai. Yayasan Dian Desa telah bekerja selama beberapa bulan mencari mata air itu, dan Sabtu (22/10) mereka mengoperasikan dua alat berat backhoe untuk mengeruk material yang menimbun mata air itu.
Titik yang diperkirakan lokasi bak air di umbul Bebeng telah didapatkan, dan dilaporkan ada kemajuan menggembirakan dari upaya luar biasa itu. Puluhan pipa besar untuk memulihkan jaringan distribusi air telah didrop di depan posko Yayasan Dian Desa di bawah gardu pandang Kalitengah Lor.
Di balik geliat kehidupan warga di dusun tertinggi di sektor selatan/tenggara Merapi ini, tersimpan misteri besar bahaya erupsi Merapi di masa mendatang. Inilah yang akan coba digali tim Ekspedisi Sabuk Merapi 2011 yang digagas Harian Pagi Tribun Jogja dan BPPTK Yogyakarta.
Dengan morfologi puncak gunung yang bukaan kawahnya menganga ke sektor selatan/tenggara, sesungguhnya permukiman penduduk seperti di Srunen, Kalitengah Lor dan Kidul, Cangkringan Sleman, dan deretan dusun di Kemalang, Klaten yang bersebelahan menjadi sangat berbahaya.
Tugiyo, tokoh komunitas Edelweis yang bergiat di seputar Kalitengah Lor, mengakui kondisi itu. Namun ia juga tidak menutup mata penduduk di dusun-dusun yang masuk wilayah terlarang untuk permukiman itu punya alasan kuat dan logis untuk kembali ke kehidupan lamanya.
Aspek sosial, ekonomi, historis dan kultural di kawasan bahaya primer ini juga akan digali oleh tim ekspedisi. Problem dasar apa yang membuat warga tak menghiraukan bahaya, dan memilih pulang ke rumahnya, sekalipun harus hidup di atas puing-puing.
Kondisi cuaca
Terkait pemilihan waktu kegiatan ekspedisi di empat penjuru Merapi, Tribun mendapatkan informasi awal mengenai prakiraan cuaca di wilayah DIY dan Jateng, terutama di kawasan gunung Merapi.
Hujan diprediksi akan sering turun mulai akhir Oktober. Namun Kepala Stasiun Geofisika Kelas I BMKG Yogya, Drs M Riyadi Msi menjelaskan, meski hujan mulai turun, belum bisa dikatakan musim penghujan tiba.
Kriteria musim hujan tiba ketika curah hujan lebih dari 50 mm per hari selama tiga hari berturut-turut. "Daerah lereng Merapi akan mengalami musim hujan lebih awal dari daerah lain di DIY. Diperkirakan mulai awal November, hujan akan turun di lereng Merapi dengan intensitas cukup tinggi," kata Riyadi.
Lebih lanjut Riyadi menjelaskan, puncak musim hujan di lereng Merapi akan terjadi pada awal Januari 2012. Sehingga, kewaspadaan terhadap ancaman banjir lahar dingin perlu ditingkatkan.
"Oleh karena itu, saya selalu meminta kepada teman-teman yang menangani masalah aliran sungai yang berhulu di Merapi, agar jangan terlambat mengantisipasi lahar dingin yang mengancam sewaktu-waktu. Karena tanda-tanda musim penghujan sudah bisa dilihat dari sekarang," imbuhnya.(Tribunjogja.com)
Rekomendasi untuk Anda